My Pages

Monday, March 19, 2018

PEGUNUNGAN BUSUK

Para pemulung dan alat berat terus bekerja di area TPST Bantargebang selama 24 jam (Liputan6.com/Johan Tallo)
Langit yang gelap menunggu datangnya sinar matahari. Tetap terdengar adanya suara-suara dari pegunungan yang menjulang kurang lebih setinggi 40 meter walaupun hari masih gelap. Adanya bayangan-bayangan orang yang sedang berjalan sambil sesekali menunduk di sekitar gunung-gunung tersebut. Terdengar juga suara-suara mesin yang menderu dari kejauhan dengan bayangan mobil-mobil pengeruk dengan tangan-tangan pengeruknya yang sedang memindahkan bagian-bagian dari pegunungan dari satu lokasi ke lokasi lainnya yang berada dekat satu sama lain.
Matahari mulai menunjukkan wujudnya dengan munculnya serabut-serabut warna merah yang perlahan mewarnai langit yang berada di belakang gunung-gunung tersebut. Bayangan-bayangan orang-orang, dan mobil-mobil pengeruk mulai terlihat sebagai wujud yang sesungguhnya, begitu pula dengan pegunungan-pegunungan tersebut.
Semakin dekat kita mendekat, semakin jelas wujud dari pegunungan itu. Apa yang menjadi komposisi dari pegunungan itu dapat disadari juga dengan indra penciuman. Bau busuknya menyerang, menusuk indra penciuman. Ketika matahari berada di tengah-tengah tinggi gunung-gunung busuk tersebut, terlihatlah dengan jelas wujud para pemulung yang sedang mengumpulkan sampah bersama dengan mobil-mobil pengeruk yang dikendalikan oleh para petugas yang kerap memindahkan sebagian kecil dari sampah ke lokasi yang tidak terlalu padat. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi longsor selain dengan membuat pegunungan sampah ini berbentuk seperti terasering.
Sejumlah pemulung sedang bekerja (Liputan6.com/Yoppy Renato)
Ini adalah pegunungan busuk yang dihasilkan oleh warga Jakarta dan dibangun di Bantargebang, Bekasi.

Perjalanan Sampah Jakarta

Sebuah sampah botol plastik telah dibuang ke dalam tempat sampah di dalam sebuah rumah yang berada di kawasan Jakarta Barat. Sampah-sampah yang ada di dalam rumah akhirnya dikumpulkan dan diletakkan di depan rumah, menunggu truk sampah datang untuk mengambilnya di pagi hari. Petugas yang datang bersama truk sampah berwarna oranye melemparkan sampah-sampah yang digantung di depan rumah-rumah untuk masuk ke dalam truk, termasuk botol plastik tersebut. Setelah para petugas dan truk selesai berkeliling untuk mengumpulkan sampah-sampah di wilayah tempat mereka ditugaskan, mereka pun segera melaju ke arah Bantargebang, Bekasi.
Truk-truk berwarna oranye satu per satu masuk ke wilayah Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi. TPST Bantargebang merupakan lokasi pembuangan akhir untuk wilayah DKI Jakarta. Wilayah tersebut mencangkup Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu.
Botol plastik ikut masuk bersama dengan truk. Langkah pertama adalah penimbangan truk dengan muatan. Setelah itu truk-truk bergerak menuju titik-titik buang yang tersebar di wilayah TPST Bantargebang. Salah satunya adalah titik buang yang ada di zona III. Disanalah botol plastik ikut mengantri bersama truk-truk oranye lain yang juga menunggu giliran untuk membuang muatannya. Setelah truk-truk membuang muatannya, alat berat menunggu gilirannya untuk dengan cepat mendorong tumpukan sampah agar memadat. Lalu tumpukan sampah ini menunggu untuk dipilih oleh pemulung, dijadikan sumber energi gas metan, atau hanya tertimbun disana selama waktu yang tidak diketahui setelah ditimbun tanah.

Pengolahan Sampah yang Dianggap Tidak Berhasil
source: Waste4Change
Menurut sebuah entrepreneur yang bergerak di bidang linkungan, Waste4Change, sampah yang dihasilkan oleh warga Jakarta setiap harinya menyentuh angka 7.200 ton. 7.200 ton merupakan berat yang setara dengan 25 unit pesawat tipe boeing 747. Dikutip dari riset Unilever Peduli, faktanya sampah Jakarta selama dua hari dapat membentuk seluruh wilayah Candi Borobudur.
“Totalnya kira-kira ada 22.000.000 m3 sampah di seluruh wilayah TPST Bantargebang,” tutur Rio, salah satu pegawai pemerintah yang mengelola TPST Bantargebang. 
Pihak pengelola telah mencoba berbagai metode untuk mengolah sampah-sampah ini. Antara lain adalah dengan menutup sampah dengan cover soil, sehingga terjadi pembusukan secara anaerobik (pembusukan yang terjadi tanpa adanya oksigen). Pembusukan anaerobik menghasilkan gas metan yang dapat menjadi sumber energi listrik dan dialirkan langsung ke Perusahaan Listrik Negara.
Selain itu sampah-sampah yang berasal dari pasar tradisional tidak dibawa ke titik buang, melainkan dibawa ke tempat khusus untuk diolah menjadi pupuk kompos. Sementara pengolahan air sampah atau air lindi memiliki lokasi tersendiri. Sayangnya kerusakan alat pengolahan air lindi tidak kunjung diperbaiki sejak September 2017 lalu. Akibatnya anggota DPRD komisi II Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata, menyatakan bahwa air lindi dari TPST Bantargebang telah masuk ke wilayah pemukiman warga.
Dampak negatif lain yang terjadi adalah bau tak sedap yang sudah mencapai daerah Cibubur dan Pondok Gede yang jaraknya 17 km dari wilayah Bantargebang.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis TPST Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto, usia TPST Bantargebang diprediksi hanya akan bertahan sampai tahun 2027 jika hanya menggunakan teknik penumpukan konvensional. Asep berkata jika diterapkannya teknologi sanitary landfill (gundukan tanah), TPST seluas 110 hektar ini dapat bertahan sampai 2032.