Para pemulung dan alat berat terus bekerja di area TPST Bantargebang selama 24 jam (Liputan6.com/Johan Tallo) |
Langit yang gelap menunggu datangnya
sinar matahari. Tetap terdengar adanya suara-suara dari pegunungan yang
menjulang kurang lebih setinggi 40 meter walaupun hari masih gelap. Adanya
bayangan-bayangan orang yang sedang berjalan sambil sesekali menunduk di
sekitar gunung-gunung tersebut. Terdengar juga suara-suara mesin yang menderu
dari kejauhan dengan bayangan mobil-mobil pengeruk dengan tangan-tangan
pengeruknya yang sedang memindahkan bagian-bagian dari pegunungan dari satu
lokasi ke lokasi lainnya yang berada dekat satu sama lain.
Matahari mulai menunjukkan wujudnya
dengan munculnya serabut-serabut warna merah yang perlahan mewarnai langit yang
berada di belakang gunung-gunung tersebut. Bayangan-bayangan orang-orang, dan
mobil-mobil pengeruk mulai terlihat sebagai wujud yang sesungguhnya, begitu
pula dengan pegunungan-pegunungan tersebut.
Semakin dekat kita mendekat, semakin
jelas wujud dari pegunungan itu. Apa yang menjadi komposisi dari pegunungan itu
dapat disadari juga dengan indra penciuman. Bau busuknya menyerang, menusuk
indra penciuman. Ketika matahari berada di tengah-tengah tinggi gunung-gunung
busuk tersebut, terlihatlah dengan jelas wujud para pemulung yang sedang
mengumpulkan sampah bersama dengan mobil-mobil pengeruk yang dikendalikan oleh
para petugas yang kerap memindahkan sebagian kecil dari sampah ke lokasi yang
tidak terlalu padat. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi longsor selain
dengan membuat pegunungan sampah ini berbentuk seperti terasering.
Sejumlah pemulung sedang bekerja (Liputan6.com/Yoppy Renato) |
Ini adalah pegunungan busuk yang
dihasilkan oleh warga Jakarta dan dibangun di Bantargebang, Bekasi.
Perjalanan
Sampah Jakarta
Sebuah sampah botol plastik telah
dibuang ke dalam tempat sampah di dalam sebuah rumah yang berada di kawasan
Jakarta Barat. Sampah-sampah yang ada di dalam rumah akhirnya dikumpulkan dan
diletakkan di depan rumah, menunggu truk sampah datang untuk mengambilnya di
pagi hari. Petugas yang datang bersama truk sampah berwarna oranye melemparkan
sampah-sampah yang digantung di depan rumah-rumah untuk masuk ke dalam truk,
termasuk botol plastik tersebut. Setelah para petugas dan truk selesai
berkeliling untuk mengumpulkan sampah-sampah di wilayah tempat mereka
ditugaskan, mereka pun segera melaju ke arah Bantargebang, Bekasi.
Truk-truk berwarna oranye satu per satu
masuk ke wilayah Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi.
TPST Bantargebang merupakan lokasi pembuangan akhir untuk wilayah DKI Jakarta.
Wilayah tersebut mencangkup Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat,
Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu.
Botol plastik ikut masuk bersama dengan
truk. Langkah pertama adalah penimbangan truk dengan muatan. Setelah itu
truk-truk bergerak menuju titik-titik buang yang tersebar di wilayah TPST
Bantargebang. Salah satunya adalah titik buang yang ada di zona III. Disanalah
botol plastik ikut mengantri bersama truk-truk oranye lain yang juga menunggu
giliran untuk membuang muatannya. Setelah truk-truk membuang muatannya, alat
berat menunggu gilirannya untuk dengan cepat mendorong tumpukan sampah agar
memadat. Lalu tumpukan sampah ini menunggu untuk dipilih oleh pemulung, dijadikan
sumber energi gas metan, atau hanya tertimbun disana selama waktu yang tidak
diketahui setelah ditimbun tanah.
Pengolahan
Sampah yang Dianggap Tidak Berhasil
source: Waste4Change |
Menurut sebuah entrepreneur yang bergerak di bidang linkungan, Waste4Change,
sampah yang dihasilkan oleh warga Jakarta setiap harinya menyentuh angka 7.200 ton. 7.200 ton merupakan berat yang setara dengan 25 unit pesawat tipe boeing
747. Dikutip dari riset Unilever Peduli, faktanya sampah Jakarta selama dua
hari dapat membentuk seluruh wilayah Candi Borobudur.
“Totalnya kira-kira ada 22.000.000 m3
sampah di seluruh wilayah TPST Bantargebang,” tutur Rio, salah satu pegawai
pemerintah yang mengelola TPST Bantargebang.
Pihak pengelola telah mencoba berbagai
metode untuk mengolah sampah-sampah ini. Antara lain adalah dengan menutup
sampah dengan cover soil, sehingga
terjadi pembusukan secara anaerobik (pembusukan yang terjadi tanpa adanya oksigen).
Pembusukan anaerobik menghasilkan gas metan yang dapat menjadi sumber energi
listrik dan dialirkan langsung ke Perusahaan Listrik Negara.
Selain itu sampah-sampah yang berasal
dari pasar tradisional tidak dibawa ke titik buang, melainkan dibawa ke tempat
khusus untuk diolah menjadi pupuk kompos. Sementara pengolahan air sampah atau
air lindi memiliki lokasi tersendiri. Sayangnya kerusakan alat pengolahan air
lindi tidak kunjung diperbaiki sejak September 2017 lalu. Akibatnya anggota
DPRD komisi II Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata, menyatakan bahwa air lindi dari
TPST Bantargebang telah masuk ke wilayah pemukiman warga.
Dampak negatif lain yang terjadi adalah
bau tak sedap yang sudah mencapai daerah Cibubur dan Pondok Gede yang jaraknya
17 km dari wilayah Bantargebang.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis
TPST Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto, usia TPST Bantargebang
diprediksi hanya akan bertahan sampai tahun 2027 jika hanya menggunakan teknik
penumpukan konvensional. Asep berkata jika diterapkannya teknologi sanitary landfill (gundukan tanah), TPST
seluas 110 hektar ini dapat bertahan sampai 2032.