My Pages

Monday, May 21, 2018

Wanita Karier dan Turunnya Laju Pertumbuhan Penduduk

“Yang membuat perempuan menunda pernikahan adalah karier,” ujar Aida L, yang
merupakan seorang jurnalis wanita. Pernyataan dari wanita lulusan Universitas Islam
Negeri (UIN) Gunung Jati, Bandung tersebut diungkapkan dalam laman blog pribadinya.
Aida hanyalah satu dari sekian banyak wanita yang mulai memprioritaskan kariernya.
Di Indonesia sendiri, diskriminasi gender di bidang pekerjaan seringkali menyebabkan gaji
pekerja wanita dan pekerja pria memiliki selisih yang cukup jauh. Belum lagi, jika pekerjaan
tersebut dinilai sulit dikerjakan oleh laki-laki, umumnya pekerjaan tersebut juga tidak akan
diberikan kepada wanita.
Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia pun ikut
menyuarakan pemikirannya terkait wanita karier melalui wawancara dengan Detik.com.
Sebagai seorang wanita karier, dirinya mengatakan bahwa kesetaraan gender bukannya
membawa dampak positif malah menyebabkan kerugian bagi wanita.
“Perempuan itu sekitar 19% di bawah laki-laki dengan pekerjaan yang sama atau
sebagai perempuan Anda itu default-nya kurang diuntungkan dibandingkan yang lain.
Kalau Anda harus melakukan sesuatu, kayak Anda harus membuktikan bahwa Anda bisa.”
Namun, di balik kerugian tersebut, ternyata masih banyak wanita yang memilih untuk
melanjutkan kariernya. Adanya kesempatan untuk mengembangkan diri, mengasah
kemampuan berorganisasi, hingga berkarya di sejumlah industri merupakan faktor-faktor
yang mengindikasikan berjayanya wanita dalam posisi manajemen. Hal ini menarik bagi
Giant Thornton, perusahaan multinasional di bidang akuntan independen yang melakukan
penelitian terhadap eksistensi wanita karier di Indonesia. Tak ayal, perusahaan yang berhasil
meraih penghargaan pada kategori Employee of The Year 2014
versi International Accounting Bulletin (IAB) ini menyebutkan di tahun 2016,
sebanyak 41% peran manajerial di perusahaan ditempati oleh wanita.
Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara tertinggi kedua di antara 45 negara yang
diamati. Di ranah ASEAN, Indonesia memegang angka tertinggi dibandingkan negara
lainnya, seperti Filipina (40%), Thailand (38%), Vietnam (26%), Malaysia (25%),
hingga Singapura (23%).

Persentase jumlah wanita di berbagai negara tahun 2016 yang menempati
posisi penting pada perusahaan versi Giant Thornton. Sumber: Giant Thornton 2016.

Di tahun 2017, Giant Thornton melakukan penelitian yang sama dan hasilnya
menunjukkan bahwa jumlah pekerja wanita yang menempati posisi-posisi penting
di perusahaan semakin bertambah. Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan
jumlah pemimpin wanita terbanyak se-Asia Pasifik serta berada di peringkat kedua
global dengan angka 46%.
Jika dilihat dari segi jumlah penduduk, CIA World Factbook 2017
mencatat Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok,
India, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk sebesar 260 juta jiwa, Indonesia
menyumbang 3,5% dari seluruh penduduk di dunia dengan kepadatan penduduk sebesar
137 jiwa setiap km2. Walaupun pada dasarnya penduduk akan terus bertambah, tetapi
seperti dikutip oleh Kumparan dalam United Nations-World Population Prospects 2017
bahwa proporsi penduduk usia tua akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena laju
pertumbuhan penduduk yang terus merosot.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
menyebutkan bahwa laju pertumbuhan penduduk merupakan perubahan angka
penduduk di suatu wilayah tertentu setiap tahunnya. Laju pertumbuhan penduduk
merupakan angka kenaikan maupun penurunan jumlah penduduk dalam suatu periode
tertentu. Meskipun World Population Prospects 2017 menganggap Indonesia sebagai
satu dari sembilan negara pusat pertumbuhan populasi dunia, tetapi dalam 45 tahun
terakhir, laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah turun hingga 41%.

Dalam data yang didapat dari SUPAS 2015 dari Badan Pusat Statistik juga
dinyatakan bahwa dalam kurun waktu 39 tahun, yakni tahun 1976 hingga 2015,
jumlah wanita yang melahirkan pertama kali di antara umur 26 hingga 35 dan di atas
35 tahun terus mengalami kenaikan. Wanita di bawah umur (kurang dari 18 tahun)
yang melahirkan juga jumlahnya berkurang pesat dari posisi puncak dengan persentase
56,7% di periode 1976-1980 menjadi posisi terendah dengan persentase 5% di periode
2011-2015. Sementara wanita yang melahirkan pertama kali di usia prima yakni 18 hingga
25 tahun tetap mendominasi sejak tahun 1996 meskipun sempat mengalami penurunan di
tahun 2015 sebesar 5,9%.

Artikel tahun 2016 yang dirilis oleh BKKBN juga menyebutkan pada tahun
1970-1980, pertumbuhan penduduk Indonesia berada di puncak tertinggi dengan
persentase 2,31 persen. Angka tersebut kemudian menurun di setiap dekadenya hingga
pada tahun 2000-2010 telah berada pada angka 1,49 persen. Sedangkan, pada periode
2010-2015, angka pertumbuhan laju penduduk tersebut turun ke angka 1,38 persen dan
pada periode 2015-2020 angka tersebut diproyeksikan akan kembali turun menjadi 1,19
persen. Menurut Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty, angka tersebut masih cenderung
tinggi.
Salah satu indikatornya adalah angka melahirkan yang masih di atas rata-rata,
yakni 2,6 anak bagi setiap wanita di mana BKKBN memasang target setidaknya dua anak
setiap wanita. Surya menganggap tantangan kependudukan semakin berat. Oleh karenanya,
dia meminta kepada para wanita untuk tidak melahirkan di usia 21 tahun ke bawah. Di sisi
lain, wanita juga harus mengatur jarak kelahiran setelah perkawinan.
Di era liberalisme ini, sejumlah negara membebaskan rakyatnya untuk berkarya di
bidang apapun tanpa membedakan gender. Fenomena ini pula yang saat ini mampir
di Indonesia. Hak untuk berkarier hingga berpolitik adalah sama rata bagi pria
maupun wanita. Di era pasca emansipasi wanita ini, wanita dapat bekerja seperti apa
yang telah dilakukan pria. Fenomena tersebut merupakan salah satu faktor laju
pertumbuhan penduduk yang kian menurun.
Seorang psikolog lulusan Universitas Indonesia, Roslina Verauli pun
menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi wanita di Indonesia memilih untuk
berkarier dan menunda pernikahan. Ibu dua anak yang akrab disapa Vera ini sudah
lebih dari satu dekade aktif menjadi pembicara dan narasumber di berbagai kegiatan,
tidak terkecuali acara-acara yang diselenggarakan BKKBN.
Vera menuturkan setidaknya ada tiga faktor utama yang mendukung wanita
untuk menunda menikah. Pertama, adanya gerakan feminisme pada tahun 1960-1970
yang menjadi pintu terhadap kesempatan wanita untuk berkarier dan memilih untuk
menempuh jalur pendidikan tinggi. Lalu, adanya keinginan dan kemampuan seseorang
untuk mandiri menjadi faktor selanjutnya yang mendukung wanita memilih untuk fokus
berkarier. Yang terakhir adalah munculnya istilah sex revolution dalam kehidupan sosial
manusia, di mana aktivitas seks yang dilakukan di luar ikatan pernikahan. Hal ini banyak
ditemukan pada negara yang menganut paham liberalisme.
Penulis dari buku Love Cold dan  I Was An Ugly Duckling, dan I Am A Beautiful Swan
ini pun melanjutkan dengan adanya social clock yang berdenting di masyarakat
mengakibatkan pandangan masyarakat berbeda. Social clock itu adalah jam sosial yang
berdenting, yang dibentuk oleh suatu society dalam masyarakat bahwa usia menikah juga
mengalami kemunduran dan toleransi. Kalau dulu perempuan umur 25 tahun belum
menikah dianggap ‘perawan tua’, maka di zaman sekarang umur 30-an belum menikah
dianggap biasa. Jadi, social clock tentang usia menikah bagi perempuan pun mengalami
kemunduran sebetulnya.” ujar Vera.
Vera juga menuturkan bahwa pasangan yang sudah menikah pun belum tentu
memiliki anak. Hal tersebut dikarenakan biaya membesarkan anak yang besar dan
kebanyakan dari wanita yang sudah bekerja sebelum menikah cenderung memprioritaskan
pekerjaannya. Di samping itu, faktor kesuburan menjadi hal lain yang menjadi pertimbangan.
Ketika kesehatan reproduksi seseorang kurang baik, maka probabilitas untuk memiliki anak
juga akan lebih rendah dibandingkan orang yang memiliki kemampuan reproduksi yang prima.
Secara tidak langsung, peningkatan jumlah wanita karier mempengaruhi penurunan
laju pertumbuhan penduduk. Faktor-faktor seperti pilihan wanita memilih untuk bekerja
terlebih dahulu dibanding menikah menjadi salah satu alasan utama pertumbuhan penduduk
di Indonesia menurun. Padahal, berkurangnya penduduk di Indonesia tidak hanya memunculkan efek samping positif, tetapi juga negatif.

Dengan berkurangnya laju pertumbuhan penduduk di Indonesia, maka kemungkinan
Sumber Daya Manusia (SDM) terancam menipis. Tidak hanya itu, pertumbuhan
ekonomi juga akan terancam memburuk karena berkurangnya investasi atau
penanaman saham. Adapula inovasi-inovasi yang akan semakin jarang muncul karena
jumlah penduduk yang sedikit dan sudah tercukupi.

No comments:

Post a Comment