Title : 15 (16)
Years Old Nanny
(part 9)
Author : JW (@JW2213)
Casts :
Cho Hae Ra (OC);
Cho Kyu Hyun (as
Kim Kyu Hyun);
Kim Ki Bum;
For the rest please find them by yourself,
THANK YOU :D
Genre : Romance, school, slice of life
Length : Chapter
Rated : General
Disclaimer : Please, I need your
comments. And please kindly realized that plagiarism can be considers as
STEALING. It’s againts the rules of our NATION. Thank you.
Author’s note : Haloo~~ Berhubung sebuah website yang biasa saya kirim ff saya itu ga kunjung meng-update cerita saya maka demi salah seorang pembaca setia saya, saya mengirim part 9 nya di blog saya :) semoga puas yaa~
Buat yang bertanya-tanya di part ini
kenapa role Hae Ra sebagai nanny yang
merupakan main topic dari ff ini udah
mulai pudar, JW minta maaf. Memang topik utamanya adalah Nanny (Hae Ra), mungkin setelah part ini dan selanjut-selanjutnya nanny role ga bakal jadi fokus
satu-satunya. Akan sedikit membelok ke haluan lain yang ga banyak-banyak amat
sih. Semoga masih tetap pantas dibaca :’) Dan juga untuk yang bertanya-tanya
kapan cerita yang sudah berjalan sangat lama dengan saya ini akan berakhir,
maka jawabannya adalah : Hanya Tuhan yang tau, bahkan saya tidak tau .___. Ehe~
Gomaptaa~
PART 9
“Nuguseyo (Siapa kau)?!” Aku masih bertanya dengan posisi di dalam pelukkannya, atau
yang lebih tepat disebut belitan kedua lengannya yang super kuat. Aku tidak tau
siapa dia, tapi aku juga tak bisa melepaskan pelukkannya, DIA BEGITU KUAT
BAGAIKAN SAPI!!
“Hae Raaaaa,
jangan bercandaaaa! Masa kau lupa padaku?” Suaranya terdengar sedih, dia pun
melepaskan aku sehingga aku bisa melihat wajahnya. Aku sangat berharap otakku
bekerja dengan cepat sekarang ini. Cepat cari memori yang ada di dalam otakku
ini!! Aku sudah hidup selama 15 tahun dan aku membutuhkan semua memoriku untuk
diolah secara cepat.
SHORT MEMORY SYSTEM
NDROME yang kuderita, KEMBALIKAN
INGATANKUUUUUU!! SEGERAAA!!! Aku malah memaki salah satu syndrome (?) yang kuderita : Short Memory System Syndrome.
“Mian (Maaf), aku benar-benar lupa
padamu,” Aku menjawab dengan jujur. “Tapi kumohon lepaskan aku. Aku kesulitan
bernafas.” Tambahku lagi saat merasakan aku sedikit sesak.
Gadis itu segera
melepaskan kedua lengannya yang memelukku dan memandangku dengan tatapan yang
super memelas. Aku hanya bisa terdiam dan terbingung-bingung, sementara air
sudah menggenang di pelupuk matanya. Aku jadi semakin bingung apa salahku
padanya.
Aku benar-benar bingung sekarang. Dia siapa? Dan tepat setelah satu
detik aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku bingung dia mulai menangis
ala bocah hilang—bolang.
“HUWEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!!!
Hae Ra jahaaaaaaat!! Masa kau tak ingat padaku?!! HUWEEE!!” Dia mulai menangis
dan berteriak dengan suara ala home
theatre yang salah tempat.
Aku pun panik dan
tidak tau apa lagi yang harus aku lakukan. Walaupun aku ini seorang pengasuh
anak kecil, anak-anak yang kuasuh bisa dikatakan lebih dewasa daripada kakaknya
yang berusia 19 tahun!!
===
“HACHIIIUU!!” Kyu
Hyun mendadak bersin ketika sedang bermain star
craft. “Kok bisa mendadak bersin, sih? Aigoo….
Ada yang sedang membicarakanku, ya? HACHIUUU!! Aisssshhh!! Kenapa ingusnya pakai acara meler segala…” dan… dia
kalah karena dia lupa untuk fokus lagi.
“AHH! ANIIII!! ANDAWEEE!!! AAAAAAAAARRRRRRGGGH!!!”
Dia berteriak
masih dengan daerah sekitar hidung yang lupa dia bersihkan…
===
“Err… Err…
co—cobalah untuk membuatku mengingatmu, errr siapa namamu?” Aku mencoba
membujuknya. Membujuk gadis yang entah-siapaku-tapi-mengaku-mengenalku ini
untuk membantuku supaya aku dapat mengingatnya.
“AKU
SEPUPUMUUUUU!!!” Dia berteriak padaku dan memberitahuku identitasnya.
Sepupu.
Total jumlah
sepupuku ada 12 orang dari keluarga ayahku dan tiga dari keluarga ibuku.
Berhubung aku sudah tidak berhubungan dengan ibuku lantas aku juga tak lagi
berhubungan dengan keluarga ibuku, apalagi keluarga besarnya. Kakek nenekku pun
sudah tak pernah kukunjungi. Lagipula karena almarhum ayahku dan ibuku yang
entah-bagaimana-nasibnya-dan-entah-berada-di-belahan-bumi-mana sudah bercerai,
bisa saja aku sudah dianggap bukan anggota keluarga mereka lagi.
Jadi kemungkinan
besar manusia yang ada di depanku adalah salah satu sepupuku dari keluarga
ayahku. Sepertinya dia ini sudah lama tak bertemu denganku. Yah, tentu saja
banyak keluarga ayahku yang tinggal di sebuah pulau kecil yang hanya berisi
sedikit penghuni di daerah Yeosu, Pulau Hahwado.
“Apakah
kau….salah satu sepupuku yang tinggal di Pulau Hahwado?” Aku mencoba bertanya
padanya.
“NEEEE!!” Dia terlihat menjawab dengan
begitu senang sekali. “Apakah kau ingat siapa aku sekarang? Siapa namaku?? Aku
anak pamanmu yang ke berapa?” Dia kembali menyerangku dengan pertanyaan
bertubi-tubi, dan pertanyaan yang terakhir bagiku tidak terlalu penting.
“Umm, mian. Aku belum ingat sejauh itu. Atau
kau mau memberitahuku saja siapa dirimu?” Aku menawarkan cara yang lebih baik
dan lebih irit waktu, irit tenaga dan efisien. Aku mempersilahkan dirinya untuk
memperkenalkan diri.
“Hae Ra, aku
adalah Jane versi Korea!! Hanya pohon tauge yang tak pernah kupanjat!! Kau yang
memberiku julukkan itu! Masa kau tidak ingat padaku?!! Aku tau kita sudah lama
tak berjumpaaa! Tapi tidak sampai kau melupakan aku bukan? Itu
keterlaluaaaan!!”
Pulau Hahwado
adalah sebuah pulau yang terkenal sebagai Ggotseom
atau Pulau Bunga. Pulau Hahwado terkenal akan Bunga Krisan dan Bungan
Kamelianya, sementara pulau tetangga, Pulau Sanghwado terkenal akan Bunga
Azalea. Kehidupan disana masih cukup dekat dengan alam walaupun sudah ada
listrik seperti di perkotaan biasa. Hanya saja disana tak sesibuk kota
metropolitan. Tentu saja. Itu hanya sebuah desa kecil.
Tempat yang
indah, menyenangkan, tenang, dan juga nyaman sekali untuk mengerti sebuah hal
atau aktivitas yang dinamakan ‘bersantai’. Tetapi ada beberapa hal yang tak
ingin kuingat.
Anjing
menyebalkan milik pamanku yang ke-3, almarhum ayahku yang makin sering
minum-minum disana karena tabiat seluruh keluarganya seperti itu, dan sebuah
memori buruk yang tiba-tiba menyeruak keluar dari dasar otakku tentang makhluk
hidup bernama pohon dan….
“Kau... Aku ingat
namamu. Cho.Yeon.Mi.” Aku memberikan penegasan pada setiap suku kata namanya.
Sedetik setelah namanya keluar dari bibirku dia terlihat begitu sumringah.
Haha, dia tidak tau kenapa aku bisa mengingat namanya.
“NEEEE!!!! Akhirnya kau mengingat
namakuuuu!! Kau memang sepupuku yang terbaik, Hae Ra-yaaaa!! Aku paling sayang padamuuu!!” Yeon Mi segera mendekatiku
dan kembali memelukku dengan tubuhnya yang setipis lidi itu. Semua tulang yang
hanya terbungkus kulit tanpa lemak itu langsung menusuk-nusuk tubuhku secara
langsung.
Walaupun aku
gendut dan tubuhku masih terlindungi oleh lemak (walaupun tidak tebal-tebal
amat), sistem syarafku tidak rusak, ok? SAKIIITTT!!!!!!!!! APPOYO!!! Jeongmal!! Demi
kelelawar yang entah kenapa terbang di dekat flatku, rasanya tubuhku ini
seperti ditusuk-tusuk oleh keramik tumpul.
“YA! Keumanhae(Hentikan), NEOMU APPOYO (sangat sakit)!” Kataku dengan nada ketus sambil
mencoba melepaskan diri darinya. Bergulat dengan sapi bertubuh super kurus yang
agak menusuk-nusuk bukanlah suatu hal yang mudah, kau tau? Ne, ne, ne. Kau takkan tau sebelum kau mencobanya sendiri. Hal itu
memang bukan hal yang lazim terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, apalagi
kalau kau hidup di dalam siklus kehidupan yang normal.
“Hae Raaa, aku
‘kan kangen padamu jadi peluklah aku lebih lamaaa….” Katanya masih sambil
mendekap aku dalam kedua lengan kurusnya itu. Sepertinya aku tau kenapa dia
kurus, karena kerjanya hanya makan sayur di desa. Seandainya aku bisa kurus…
Berarti aku harus tinggal di desa. Ok, kemungkinan besar aku akan ambil jurusan
kehutanan atau botani saat kuliah nanti, sehingga aku punya alasan untuk
menetap di sebuah desa, atau bahkan tinggal disana. Lemak, selamat tinggal…
tapi nanti…
LUPAKAN!! Itu tidak penting, Hae Raaaa!! Itu
penting sih, tetapi ada yang lebih penting yang harus kau urus disini. Di
depanmu ini ada makhluk bermata dua, berkaki dua, bertangan dua, namun entah
berspesies sama dengan dirimu atau tidak, Haera-ya…
“Aigoo, Yeon Mi-ya!” Aku memanggil namanya dengan agak keras, dan dia melihatku
dengan ekspresi polos. Sedikit banyak mirip dengan Pororo. TAPI PORORO LEBIH
IMUT. “Igeo nwa (Lepaskan aku).” Sambungku
dengan nada yang datar. Semua suku katanya bernada G (sol) rendah.
“ Aku akan bertanya kepadamu. Apa kau tau kenapa aku akhirnya bisa mengingat namamu?” tanyaku dengan nada yang sedikit menyindir padanya. Atau lebih tepatnya nada yang penuh dengan SARKASTISME.
Hal yang
membuatku makin kesal padanya adalah wajahnya yang masih memandangku dengan
tatapan polos dan mata membulat tanpa dosa, lalu kepalanya yang mulai
ditelengkan kearah kanan, lalu ke kiri dan akhirnya kembali lurus menatapku
lurus ke dalam. Dan jawabannya itulah klimaks dimana aku akan meledak, “Karena
aku imut dan kau sayang padaku!”
BUM.
“BUKAN ITU!!
Karena kau pernah mengajakku naik keatas pohon dan kau MEMBIARKAN AKU DIATAS
SANA selama DUA JAM karena aku tidak bisa turun, sedangkan kau sudah di bawah
dan bermain-main dengan anak-anak yang lain!! Lalu karena kau tidak kunjung
memberitahuku bagaimana caranya untuk turun, kau tidak membantuku turun, dan
kau tidak mencari orang untuk menyuruhku turun akhirnya aku yang sudah putus asa
itu membulatkan KENEKATANKU dan akhirnya MELOMPAT dari atas pohon setinggi TIGA
METER DIATAS PERMUKAAN TANAH, dan yang kudapat adalah KAKIKU YANG KESELEO PARAH
dan kehilangan kemampuan berjalan selama SEMINGGU!” Aku mencoba menarik nafas
dan memejamkan mata sambil mengacungkan telunjuk kananku kearahnya.
“Oh ya, aku lupa.
Aku juga mendapatkan trauma terhadap makhluk hidup bernama POHON, trauma
terhadap kegiatan yang melibatkan aktivitas PANJAT MEMANJAT, memberiku pengalaman
mengerikan, dan KESIMPULAN KALAU KAU AGAK…. MENYEBALKAN!” Perhatikan anak-anak,
kata-kata yang di CAPSLOCK itu memiliki nada yang lebih tinggi, penekanan yang
lebih berat, dan sedikit staccato.
Aku agak kurang
tega mengatakan kata terakhir itu. Tadinya aku ingin berkata kalau dia agak
gila, sesat, tak masuk akal sehat, makhluk aneh, dan kata-kata lain yang
memiliki tingkat kekasaran tinggi. Padahal aku mengatakan sebuah kata yang
memiliki tingkat kekasaran sedang (menyebalkan), tapi tetap saja aku tidak
begitu tega. Bagaimanapun dia ‘kan tetap sepupuku sekalipun dia seaneh alien.
Orang-orang pembuat pepatah itu benar, ‘Darah memang lebih kental daripada
air.’
Hening.
Yang terdengar di telingaku hanyalah desiran
angin yang mengejek dan membuat tubuhku mulai merasakan dinginnya bulan ini,
November yang mempersilahkan para penghuni bumi di negara bagian Asia Timur dan
sekitarnya untuk beradaptasi dan bersiap untuk Desember yang pasti dingin
menusuk semenusuk-menusuknya.
Masih hening. Aku
masih menutup mata.
“Jadi….”
Aku mulai mendengar
sebuah suara yang tinggi dan mirip suara anak kecil.
“Kau mengingatku
karena kau mengingat kejadian itu?” Dia bertanya kepadaku setelah mencerna
ceritaku yang panjang, lebar, tinggi, dan padat itu. Aku mengangguk dan masih
memejamkan mata. Yang bisa kulihat hanyalah hitam. Tepatnya itu adalah bagian
dalam kelopak mataku sendiri tetapi tanpa ada cahaya yang bisa memantulkannya
jadi yang terlihat hanya hitam.
“Kau tidak
menyukai kejadian itu, ya?” Dia kembali bertanya dengan nada yang sama. Polos?
Tablo? Atau…. KELEWAT POLOS dan TABLO? Ah, aku rasa itu dia jawabannya. Aku pun
kembali menjawab dengan anggukkan tanda kalau aku mengiyakan statement-nya itu.
“Kau tidak suka?”
Dia kembali bertanya entah karena dia tidak mengerti atau karena dia ingin
memastikan. Aku mulai mengeluarkan suaraku setelah kutahan dan kupenjarakan
sementara setelah acara penjelasan seputar biografi hidupku selesai. “ Ne, jeongmal miwoyo (Ya, sangat benci).”
Jawabku asal dan pendek. Semoga itu cukup jelas untuknya.
BUM shakalaka.
“HUEEEEEEEE!!”
Dia kembali menangis ala bocah dengan suara stereo plus-plus. Tuhan,
selamatkanlah gendang telingaku.
“Ya, hentikan! Jangan menangis lagi!” Aku
harus sedikit berteriak lantaran suara tangisannya juga keras. Kalau aku tidak
berteriak aku bahkan tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Mungkin terlihat
agak berlebihan di mata kalian, tapi itu kenyataannya.
“HUAAA!!”
Bukannya berhenti dia malah mengganti suku kata terakhir dari tangisannya dari
‘E’ menjadi ‘A’. SESUNGGUHNYA kalau dia bukan sepupuku dia sudah kutinggalkan
di depan sendirian tanpa kata. Tetapi…. Sekali lagi darah memang lebih kental
daripada air.
Saudara-saudara
sekalian, aku ingin membuat sebuah pernyataan jujur. Aku ini bukan orang yang
sesabar itu. Tetapi aku pernah mendengar atau membaca kalau seorang anak kecil
tidak sebaiknya terus-menerus dibentak saat menangis, tetapi lebih baik
ditenangkan dengan cara yang lebih lembut. Tapi sebentar pemirsa, apakah
manusia di depanku ini termasuk taraf anak ‘kecil’? Mungkin tubuhnya memang tak
sekecil itu, tapi dalamnya masih termasuk anak kecil. Karena dia menangis
persis seperti seorang bocah berusia lima tahun. Kalau begitu mari kita lakukan
eksperimennya.
“Yeo—Yeon Mi-ya…” Panggilku super lembut sambil
menyentuh pundaknya. Seumur hidup aku tidak akan berbicara selembut ini lagi.
Garis bawahi kata TIDAK AKAN. “Yeon Mi,” panggilku lagi. “Yeon Mi, aku
memang membenci hal itu, tetapi aku sudah memaafkanmu dan tidak memikirkannya
lagi. Sepertinya aku sudah mulai melupakannya,” Kataku ber-white lie ria. Tentu saja aku belum memaafkannya dan tidak akan
pernah melupakan hal itu! Padahal aku baru mengatakan kalau aku mengingat
peristiwa menyebalkan itu, tetapi aku malah berkata aku sudah tidak
memikirkannya, bahkan mulai melupakannya. Huh, aku memang tidak pandai
berbohong.
Tiga, dua, satu…
Aku mendengar
tangisannya semakin reda dan akhirnya berubah menjadi sesegukan pendek tanpa
suara teriakkan lagi. Puji Tuhan. Gendang telingaku selamat.
“Jinjja (Sungguh)?” Tanyanya sangat
polos. Aku bersyukur karena dia sangat-sangat polos sekali. “Eo,” jawabku pendek mengiyakan. Perlahan
wajahnya yang sudah basah, kusut, dan kumel seperti kain yang lecek dan lembab
itu mulai mencerah dan tersenyum lebar sampai kedua tulang pipinya itu terlihat
begitu jelas.
Ah, sebelum dia
mulai melakukan sesuatu yang bahaya (baca : berteriak, memelukku dengan tenaga
berbahaya, atau mungkin bertepuk tangan dengan meriah karena over excited, dan sebagainya) aku
langsung memotongnya di tengah sesi senyum lebarnya itu sebelum dia sampai ke
tahap selanjutnya.
“Ayo, masuk.”
Kataku sambil mengambil travel bag-nya
yang besar dan membawanya ke dalam flat-ku.
Dia mengikutiku dengan langkah yang ringan dan ceria. Tidak akan terlihat kalau
dia habis menyelesaikan sesi tangis-menangisnya, kecuali kalau kau lihat mata
dan wajahnya. Ngomong-ngomong kenapa dia datang kemari?
====
“Hae Ra!! Antar
aku ke Paris Bouquet!!” Sabtuku yang indah hancur karena satu deret kata yang
memberondongku tepat disaat aku baru membuka kedua mataku. Demi apapun yang ada
di depan Sungai Han sekarang ini, AKU MAU BANGUN SIAAAAAAAANG!!!
Mataku yang masih
mencoba untuk beradaptasi dengan kehidupan nyata bisa menangkap sesosok
bayangan samar yang menginterupsi sesi tidur indahku. Dialah dia. Yah dia,
DIA!! Pemilik suara yang cocok sebagai suara alarm yang sanggup membuatku
terbangun tanpa ba-bi-bu setelah mendengarnya.
Tetapi setelah
aku bangun dan sadar tentang apa yang dikatakannya aku langsung ber-ba-bi-bu
ria alias kembali memejamkan mataku. ARRRGGHH! Aku tidak mau sabtuku ini
diganggu!!
Merasa dirinya
diacuhkan setelah dia melihatku sudah membuka mata diapun kembali mencoba
membangunkanku sekali lagi. Ah, dengan metode yang sudah di-upgrade = digoyangkan dengan brutal.
Errrr, SEDIKIT brutal maksudku.
“Hae Raaaa!! Ppali ireonaaa (Cepat bangun)!! Ayo kita
ke Paris Bouquet!!” Dia mengatakan hal itu sambil menggoyang-goyangkan tubuhku
yang masih dengan nyaman berbaring diatas kasur yang sudah tak layak disebut
kasur, tentunya dengan suara yang…. Indescribable
by words.
“ARGH!! Yeon Mi!
Hentikanlah! Aku masih sangat mengantuk dan lelah! Biarkan aku tidur hari ini!”
Aku setengah berteriak padanya. Tentu saja masih sambil memejamkan mataku
rapat-rapat.
“Hae Ra, PPALIIII!!! AKU MAU KE PARIS
BOUQUETEEEE!! TEMANI AKU, nanti aku tersesat!!” kuakui suaranya memang…. Wow.
Suaraku sama sekali tidak sebanding dengan suaranya yang mengalahkan suara
sirene pemadam kebakaran yang baru saja lewat. Aku menyerah teman, aku menyerah
jika terus-terusan diteror seperti ini. Apa salahku?!!! Aku hanya ingin
tiduurrr!! Dia ‘kan tidak tau dua hari yang lalu aku baru saja mengalami
pengalaman super heroik dan aku sangat lelah. Garis bawahi kata SANGAT.
Tetapi bagaimana
caranya aku tidur kalau ada alarm yang tidak bisa dimatikan disini? Hidup ini
sangat berat.
“HAE RAAAA!!!!”
….dan berisik.
===
Sudah lebih dari setahun
setelah kematian Appa, dan lebih dari
setahun pula aku tidak pernah punya uang saku. Tentu saja karena aku tidak
pernah punya uang saku aku tidak pernah membeli camilan atau pernak-pernik
seperti anak-anak gadis lainnya. Walaupun aku seorang yang tidak suka berdandan
atau belanja, setidaknya aku suka makan. Selama setahun ini aku sama sekali
tidak bisa jajan apapun. Masih ingat dengan waffle
yang kudambakan di hari pertama aku bekerja? Aku masih membayangkan rasanya
saja, karena aku belum mendapatkan gajiku.
Karena itulah saat ada
manusia yang mengajakku ke sebuah kedai roti dan es berlogo menara Eiffel yang
cukup terkenal di Korea, aku hanya bisa terdiam di depan etalase karena
bingung. Tentu saja karena begitu banyak pilihan makanan yang terpajang di
etalase toko. Aku tidak tau harus memilih roti yang kelihatan enak ini, atau es
dengan tampilan menarik itu atau….
Hae Ra, kau tidak punya
uang.
Kujamin sekarang antusiasme
sudah melayang dari wajahku yang tadi begitu terpana dengan isi kedai ini.
Karena yang bisa kulakukan hanya memandangnya, dan memandang harganya.
Berbeda dengan manusia
yang sedang berjalan dengan mata yang meneliti satu per satu jenis makanan yang
ada disini. Dia begitu antusias dan terlihat bahagia. Tentu saja dia bahagia,
namun kebahagiaannya tidak membawa kebahagiaannya kepadaku juga.
Setelah membangunkanku
dengan teknik kebrutalan tingkat dewa…. Ok, karena dia sepupuku berarti itu
adalah kebrutalan tingkat sedang dan KDRH (Kekerasan Dalam Rumah Hae Ra), dia
merengek minta diajak ke sebuah tempat yang katanya bernama ‘Paris Bouquet’.
Hal yang pertama bisa
kulakukan setelah sesi bangun paksa itu adalah memijat kepalaku yang sedikit
pening, lalu memijat tengkukku dan berharap hal itu bisa membuat kepalaku lebih
baik. Ternyata tidak. Jadi aku hanya memejamkan mataku selama beberapa detik
dalam posisi duduk sampai suara itu kembali memanggil namaku. Tentu saja itu
membuatku sedikit melompat dalam posisi duduk. Jantungku pun ikut melompat.
Hal kedua yang kulakukan
adalah membuka mataku. Lalu mengerjap-kerjap sebentar untuk membiarkan tatapan
mataku terbiasa dengan alam atas sadar…. Maksudku alam sadar setelah hidup di
alam bawah sadar sebelumnya. Aku hanya melakukan ini selama sekian detik. Namun
SEKALI LAGI, sebelum mataku berhasil fokus 100% aku mendengar suara yang sama,
volume yang sama, dan nada yang lebih tinggi memanggil namaku. Lagi-lagi aku
melompat sebisaku dalam posisi dudukku. Sepertinya aku sampai sempat lupa
bernafas, nafasku sempat tercekat tepatnya. Ah, hal baiknya adalah mataku
langsung fokus seketika.
Hal ketiga adalah
menyadari kalau di depanku ini ada seorang gadis yang dengan berat hati kuakui
sebagai sepupuku. Matanya membulat senang dan penuh keceriaan. Tentu saja
dengan level senyum dan semangat pagi maksimum. Aku hanya menghela nafas berat,
dan sebelum dia kembali memanggil namaku aku memotongnya terlebih dahulu dengan
kata “Chamkanman (Sebentar),” sementara di dalam hati aku hanya bisa
menggerutu sendiri. AKU HANYA INGIN
MENGHELA NAFAS, APAKAH ANAK INI TIDAK BISA SABAR?!
Hal keempat adalah
memberitahunya kalau tempat yang dimaksud bernama Paris Baguette, bukan Paris
Bouquet. Dia hanya mengangguk dan kembali menyebutnya dengan kata Paris
Bouquet. Ah, terserahlah. Aku bukan guru yang baik.
Hal kelima adalah
menceritakan peristiwa yang baru saja kualami yang bisa dijadikan film action box office terbaru dengan judul ‘Nanny On Rescue’ atau ‘Nanny Bond’ atau ‘Rush Hour 6 : Heroic Nanny’. Lupakan saja bagian itu bisa
diabaikan. Dan kalian tau apa responnya? Mau tau? Ini dia pemirsa :
“Ohh… Ayo ke Paris
Bouquet!”
Hal keenam adalah… Aku
bahkan belum sempat berpikir untuk melakukan apapun dan dia sudah menarikku ke
kamar mandi. Dan disinilah aku berada sebagai pengganti google map untuknya, mengantarnya ke tempat yang menurutnya bernama
Paris Bouquet. Ah, kalau begitu aku adalah electronic
map paling canggih di dunia. Karena hanya aku saja peta elektronik yang
bisa menunjukkan arah ke Paris Baguette saat kau meng-input tujuanmu dengan nama ‘Paris Bouquet’.
Kepalaku masih sedikit
berat. Wajahku sedikit pucat, menurutku. Yah, hal itu yang terlihat jika aku
melihatnya lewat cermin butut di kamar mandi flat-ku. Entahlah bagaimana di cermin normal. Cermin normal yang
biasanya kugunakan adalah cermin di toilet sekolah. Aku cinta mati dengan
toilet sekolahku. Bwahahaha… Cintaku sedalam lautan, setinggi langit di
angkasaaa kepadamu (toilet sekolahku)~ *nyanyi*
Dia terlihat seperti idol-idol
Girlband K-POP jika kau lihat dari belakang seperti ini. Tubuhnya yang ramping,
bahkan lebih kurus dari SNSD ini mungkin membuat gadis-gadis seluruh Korea yang
memiliki tubuh yang overweight (termasuk
aku) iri hati. Apakah gadis ini pemakan yang baik? Seingatku dia adalah seorang
pemilih makanan dan pecinta petualangan, outdoor
activities, dan kawan-kawannya yang sejenis itu. Makanya itulah kenapa aku
memberinya julukkan Jane versi Korea. Jujur saja aku sudah tidak ingat aku
memberinya julukan itu. Tapi karena menurutnya akulah yang mengatakannya aku
hanya bisa percaya, dan sementara ini hak cipta atas nama bodoh itu menjadi hak
ciptaku. Ah, ngomong-ngomong itulah kenapa dia jadi sekurus lidi begini. Makan
sedikit, banyak bergerak. TA-DAAAA!! Tubuh yang setipis kertas.
Tiba-tiba dia membalikkan
tubuhnya dan memandang kearahku dengan tatapan yang menyiratkan kebingungan.
Ah, dia pasti memilih yang mana yang harus dipilihnya. Jika dia bertanya padaku
dia pasti memilih orang yang salah. Aku belum pernah ke Paris Baguette selama
lebih dari setahun. Aku cuma tau tempatnya saja, karena aku belum pernah sempat
mencoba ke Paris Baguette. Rumahku yang lama tidak dekat dengan Paris Baguette
manapun, jadi aku malas untuk pergi jauh-jauh. Sementara rumahku yang sekarang
malah dekat dengan salah satu cabang Paris Baguette. Sialnya sekarang aku tidak
punya modal untuk dihabiskan.
“Hae Ra-ya,”
panggilnya. “Yang mana yang enak?” tanyanya dengan tatapan polos sambil
mendekatiku yang sedari tadi hanya berdiri di belakangnya.
“Molla (Tidak tau),” jawabku asal. Tapi aku tidak berbohong lho. Aku
menjawabnya dengan jujur. “Aku belum pernah kesini.” Sambungku.
“Bohong,” jawabnya dengan
mata yang membulat. Sialan, enak saja aku
berbohong. Aku memang belum pernah menginjakkan kakiku ke Paris Baguette
manapun! Umpatku dalam hati. “Semua gadis remaja di Seoul pasti pernah ke
Paris Bouquete!!” dan setelah perkataannya ini aku benar-benar ingin
menjitaknya seandainya dia bukan sepupuku dan ini bukan di tempat umum.
“Semua kecuali aku,”
kataku mencoba menanggapinya sesantai mungkin, sementara di dalam hati aku
sedang meredam semua kekesalanku. Sabar,
Hae Ra…. Kau harus sabar menghadapi manusia seperti yang ada di depanmu ini.
Dia makhluk langka. Memang aneh, tapi kau harus sabar…. Sepertinya roh evil-ku sedang dikalahkan sedikit demi
sedikit dengan roh malaikatku. Kekesalanku sih mereda, dan aku melanjutkan
lagi, “Karena aku tidak punya uang saku sejak Appa-ku meninggal.”
Dia terdiam. Tidak
bergeming sedikit pun, namun masih berkedip dan bernafas. Lalu tiba-tiba
bibirnya bergerak dengan gaya yang aneh, yang entah kenapa mirip body wave ala dance girl band SISTAR di lagu Ma
Boy, jadi biar kunamakan lips wave.
Setelah sesi gerakan bibir aneh itu sejenak, lalu bibirnya bergetar dan kulihat
air matanya mulai menggenang, wajah dan ekspresi yang membuatku tidak tenang,
dan tepat setelah dia menarik nafas untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
terbayangkan olehku yang manusia normal ini, aku langsung mendekap mulutnya.
“Jangan menangis, Yeon
Mi. Ini tempat umum.” Bisikku di telinganya masih dengan tangan yang menutupi
mulutnya. Dia terlihat kaget. Tentu saja! Mana ada manusia lain yang pernah
menutupi mulutnya begini saat dia mau menangis? Namun sekarang ada, yaitu aku.
“Juga jangan berteriak-teriak
seperti speaker salah tempat. Ini
adalah dalam ruangan, suaramu pasti terdengar jelas walaupun kau berbicara
dengan volume biasa. Ini bukan Pulau Hahwado yang pasti memerlukan suara yang
lebih keras saat kau mau berbicara dengan orang-orang yang berada di luar
ruangan, ok?” kataku memberi berbagai pengajaran tentang etiket Seoul yang
sedikit berbeda dengan tempat tinggalnya yang dulu.
Dia hanya melihatku yang
masih membekap mulutnya itu dengan tatapan yang masih digenangi air mata. Entah
kenapa dia menangis. Mungkin karena mengasihani aku yang tak pernah dapat uang
saku lagi? Atau karena teringat ayahku? Ah, sepertinya kemungkinan kalau opsi
kedua jawabannya sangat tipis. Tapi dia hanya melihatku yang berada di depannya
dan tak merespon.
“Yeon Mi-ya, arasseo?”Aku mencoba untuk
memastikan jawaban darinya. Dia hanya memandangku sebentar lalu mengangguk
dengan ragu. Aku pun segera melepaskan tanganku. Agak risih juga melakukan itu
di tempat umum karena aku malah dilihati oleh pengunjung, penjaga counter kedai, dan juga orang-orang yang
melihatku dari luar kedai lewat pintu kaca yang bening dan transparan.
Yeon Mi kembali
memandangku dengan tatapan yang bagaikan anak kecil, dia terlihat sesegukan
lagi dan aku langsung memberinya peringatan, “Uljima (Jangan menangis),”
ujarku padanya. “Ini bukan tempat yang tepat untuk menangis.” Sambungku.
Dia berhenti sesegukan
dan mencoba menanahan tangisannya lalu menyeka air matanya dengan kedua lengan
panjang bajunya. “Arasseo! Hae Ra kau
suka Patbingsu?” tanyanya padaku.
“Patbingsu? Yah, lumayan,” ujarku padanya. Tapi…. Kenapa anak ini
menanyakannya padaku?
“Ara!! Chamkanmanyo! Coba tolong kau carikan tempat duduk, ya….”
Katanya sambil mengantri di counter pemesanan.
Aku yang masih bingung inipun hanya bisa menuruti permintaannya sambil menguap
lebar lantaran sangat lelah dan letih. Sepertinya saat aku sudah sampai di
rumah nanti aku akan tidur lagi.
Aku memilih salah satu
tempat duduk yang berada di dekat jendela dan menghela nafas. Aku mengencangkan
syalku yang usianya sudah tiga tahun dan dirajut oleh Yoon Hee sebagai hadiah
ulang tahunku tiga tahun yang lalu. Dia sangat baik, aku saja hanya pernah
memberinya pembatas buku buatan tanganku sendiri untuk hadiah ulang tahunnya,
tetapi dia malah memberiku syal rajutannya. Hah, dia adalah manusia yang
terlalu baik.
Aku sedang memandang
kearah luar jendela kaca transparan yang besar itu dan melihat kearah jalan.
Sabtu adalah hari libur bagi anak-anak sekolah. Tentu saja banyak yang
menghabiskan waktunya bersama teman-teman atau keluarganya, terutama remaja
perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan hunting benda-benda yang menurut mereka imut, atau berburu k-pop stuffs dari artis-artis yang
mereka gandrungi.
Cara mereka menghabiskan weekend berbeda dengan aku yang memang
tidak suka belanja, namun aku juga suka k-pop. Aku suka Super Junior dan
Infinite!! Kalau girl band aku suka
Miss A, After School, dan juga SISTAR! Tetapi aku tidak pernah membeli
pernak-pernik mereka. Tentu saja!! Uang darimana? Tetapi saat Appa-ku masih ada, aku pernah membeli CD
Super Junior juga Pin dan Photobook Infinite. Wuaaaahhh~ Woo Hyun Oppa sangat tampan di pin yang kubeli!!!
Ok, kenapa jadi membicarakan hal seperti ini?
Tiba-tiba saja senampan makanan datang keatas
mejaku. Ada sepotong roti dan seporsi Patbingsu
yang ada disana. Yeon Mi yang membawanya terlihat begitu ceria, lalu
mengambil tempat untuk duduk tepat di seberangku. Ada apa, ya?
“Hae Ra, karena
sebelumnya kau tidak pernah makan disini dan kau tidak punya uang saku,
sekarang aku membelikannya untukmu!!” Katanya penuh semangat sambil menyodorkan
segelas es serut dengan kacang merah kepadaku. Seporsi Patbingsu.
“Neo (Kau)…” Aku hanya bisa terdiam saat melihatnya melakukan ini.
Jujur saja aku jadi tersentuh melihatnya. Walaupun cuma hal kecil, bahkan
terlihat sedikit bodoh, aku sangat tersentuh. Aku pun mulai tersenyum saat
terus-terusan melihat kearah Patbingsu yang
menunggu untuk kumakan.
“Gomawo, Yeon Mi-ya….” Ujarku padanya sambil tersenyum.
“Neee!! Wah, Hae Ra tersenyuuuum! Manis sekali!!” Katanya lagi
begitu antusias. Aku hanya tertawa kecil saat mendengarnya. Lalu aku mulai
makan. “Aku makan,” ujarku. Dan…
Hap.
Brrbh.
Aku menyuap sesendok Patbingsu dan yang kurasakan adalah
gigiku yang sedikit ngilu dan tubuhku yang langsung merinding. Oh, anak ini
begitu gila memberiku es serut saat cuaca dingin begini. Tapi dia sudah begitu
baik mau membelikannya untukku dengan uangnya. Jadi aku hanya mencoba untuk
terlihat biasa saja. Rasanya memang enak tapi di saat yang salah.
“Enak?” Yeon Mi bertanya
sambil mengunyah roti coklatnya yang kelihatannya akan jauh lebih baik rasanya
untuk dimakan di hari yang dingin ini. Tapi karena aku tidak enak hati padanya
aku berpura-pura manis saja deh.
“… Enak,” kataku sambil
menahan gemeretak gigiku yang agak menggigil. Mungkin Tuhan memang
menciptakanku untuk hidup di daerah tropis, karena aku ini sangat benci dingin
dan tidak tahan pada udara dingin. Saat orang-orang mengipas sambil ribut
‘PANASSS!!’ aku hanya bilang : “Ya, panas,” dengan nada datar dan berdiri
santai. Aku lebih memilih panas-panasan di lapangan daripada terjebak di daerah
berangin menusuk. Tetapi dengan keringat yang biasanya jauh lebih banyak
daripada mereka semua. Ehhh, memang aneh, aku ini sangat mudah berkeringat.
Jika kau membiarkan aku berdiri di pinggir lapangan selama kira-kira satu jam,
punggungku akan basah kuyup!! Oke, kenapa jadi melantur lagi?
Ngomong-ngomong mungkin
saja ini dilakukan oleh Yeon Mi untuk balas dendam padaku yang jutek dan judes
habis padanya, bukan? Tapi, masa manusia sepolos ini bisa balas dendam padaku?
Hae Ra, dia tetap manusia jadi kemungkinan itu benar-benar ada!! Tapi daripada
harus melihatnya menangis karena aku tidak menghabiskan patbingsu ini lebih baik aku menahan ngilu.
Hap.
Aku berjanji aku tidak
akan menyentuh patbingsu lagi sampai
musim panas tiba.
===
“Because I listen to my heartbeat one by one,” Kudengar lagu itu
berkumandang bertabrakkan dengan lagu yang lain, walaupun terdengar
samar-samar. “Nae show, nae show, opera…”
yang tentunya berasal dari benda elektronik lainnya. Ponselku mengeluarkan lagu
Infinite – BTD, sementara benda yang aku tidak tau apa mengeluarkan lagu Super
Junior – Opera. Tapi suara lagu Opera terdengar sangat kecil, siapa yang menyetelnya?
Ah… Aku lupa ada satu
makhluk lagi yang hidup disini selain aku.
Padahal ponselnya sudah
berbunyi selama hampir satu menit, karena lagunya sudah terputar sampai ke
bagian reff. Tetapi salah siapa memutar alarm dengan suara yang begitu kecil?
Tentu saja kau takkan bangun! Aku pun hanya bisa mendengar lagu itu
samar-samar, dan aku mengenali lagu itu karena itu salah satu lagu favoritku.
Mari kita lihat pemirsa,
ada makhluk hidup yang sedang tertidur disana. Makhluk apakah dia? Tidak tau.
Manusia…. Banyak kemiripan dengan manusia, tetapi…. Sudahlah, jangan begitu
kejam padanya, Hae Ra, dia manusia. Dia tidur dengan posisi yang agak aneh.
Selimut yang berada kira-kira ±10 cm dari manusianya, lalu dengan kaki yang
masih diatas kasur, sementara kepala yang berada diatas lantai. Ah, aku
melupakan bantal yang sudah pergi menjauh sejauh ±20 cm. Tidur macam apa yang
dia jalani tadi malam?
Hari ini adalah hari
Senin. Hari ini….
HARI SENIN?!!!
SEKOLAHHHH!!!
Tapi bagaimana dengan
anak ini?!! Dia menyetel alarm di jam yang sama denganku, yaitu pk. 05.30!! Apa
dia mengintip ponselku? Atau apa yang…. Ah? Eh? Eh? Oh? ARGH!!! AKU BINGUNG!!!
Bangunkan saja makhluk ini!!
“Yeon Mi-ya!! Ppali ireonaaaaa!!”
-to be continue-
No comments:
Post a Comment