Title : 15 (16)
Years Old Nanny
(part 11)
Author : JW (@JW2213)
Casts :
Cho Hae Ra (OC);
Cho Kyu Hyun (as
Kim Kyu Hyun);
Kim Ki Bum;
For the rest please find them by yourself,
THANK YOU :D
Genre : Romance, school, slice of life
Length : Chapter
Rated : General
Disclaimer : Please, silent readers, I need your
comments. And please kindly realized that plagiarism can be considers as
STEALING. It’s againts the rules of our NATION. Thank you.
Author’s note: Salam garing, Readers-deul :) SAYA SANGAT MINTA MAAF ATAS LAMANYA UPDATE FANFIC INIII.... Saya tadinya udah kirim di sebuah blog dari tahun lalu, tapi tiba-tiba blognya ditutup (katanya sih sementara, but I think it's unlikely to be active again) dan saya males update sendiri, begitu pula di facebook karena udah punya hobby baru, yakni collabing dan covering.. (Please visit my youtube account and please comment in some of my covers :D http://www.youtube.com/JeniferWirawan2213) So from now on, ff ini akan di publish disini :D
Semoga ceritanya masih berkenan di hati, dan kalo udah ga niat baca.... Jangan dibaca :P Hehehehehe
_Part 11_
Payung sering sekali
kubawa kemana-mana belakangan ini. Karena memang peribahasa ‘Sedia payung
sebelum hujan’ bisa diartikan secara literally.
Sudah beberapa bulan berlalu dan sekarang sudah mendekati hari-hari dimana
nanti siswa-siswi kelas 6 SD, kelas 3 SMP dan SMA akan memeras otak
sekeras-kerasnya, mengosongkan kapasitas otak mereka dari hal-hal tak penting
dan mengisinya dengan bahan-bahan ujian masing-masing. Sekarang sudah bulan
Januari yang sudah mulai sedikit hangat dengan mekarnya bunga-bunga (yang
sedikit banyak sebenarnya tidak kuperhatikan) tetapi sedikit dibasahi hujan.
Banyak cerita yang
kulewatkan dan tak kujelaskan secara lengkap. Intinya sekarang ini aku dan Yeon
Mi tinggal di rumah keluarga Kim Sang Min. Kami mendapat sebuah kamar yang
cukup besar untuk kami tinggali berdua, kira-kira sebesar kamar Seok hoon dan
Soo Ra, serta diberi kebebasan untuk mempergunakan kamar belajar yang lebih
banyak tidak digunakan karena Kyu Hyun dan Ki Bum selalu menggunakan kamar
masing-masing, begitu pula dengan Soo Ra yang belajar di kamar (kadang diajari
olehku, Yeon Mi atau Kyu Hyun jika dia sedang kesambet), sementara Seok hoon
masih belum perlu belajar.
God always provides the best in the best way, on the right
time. It’s indeed a blessing. A huge one.
Beliau yang menyuruh kami
tinggal di rumah beliau setelah bertemu
denganku sekali. Beliau nampak dingin, persis Ki Bum-ssi tetapi beliau adalah versi yang lebih parah lagi. Kedua anak
yang kuasuh saja begitu takut saat bertemu dengan beliau. Aku juga sama sekali
tidak punya keinginan untuk mengurangi sedikitpun hormat yang kuberikan
padanya. Karena entah karisma atau sisi dinginnya yang membuatku merasa
demikian. Merasa kalau derajatnya memang lebih tinggi dariku berpuluh-puluh
kali lipat.
Sekarang Yeon Mi menjadi
cukup normal dengan tingkah yang tidak aneh-aneh, selevel dengan Seul-ah (maaf
Seul-Ah, silahkan komplain di kolom comment),
memang masih sedikit manja tetapi sudah tidak abnormal. Dia sudah jadi manusia.
Manusia Seoul tepatnya. Dia sempat
pindah ke bagian nasional, tetapi kembali pindah ke bidang nasional plus karena
dia begitu rajin belajar, terutama bahasa Inggris. Dalam hitungan bulan dia
sudah bisa berada diantara makhluk-makhluk dewa Inggris di kelasku. Practice makes perfect tidak berlaku
bagiku, tetapi practice makes better is
indeed a reality even if it’s hard to accept and so hard to do.
Nilainya ternyata tidak
jelek, dia masuk ranking 10 besar dengan tipe belajar yang agak ogah-ogahan.
Mungkin Tuhan menciptakannya pintar, tetapi memang otak itu kurang digunakan.
Dia juga masuk ekskul yang sama denganku, dancing.
Karena dia senasib denganku yang ingin masuk paduan suara tetapi sudah penuh,
akhirnya dia diimbahkan ke tempat yang sama denganku. Hal yang mengejutkan
adalah dia sama jagonya seperti Seul-Ah. Aku hampir bunuh diri saat melihatnya
menguasai gerakan-gerakan Luna eonni (guru
perempuan kami) dalam sekali lihat. Dia berbakat, saudara-saudara. DIA
BERBAKAT!!
Kyu Hyun sunbae yang tengah berkutat dengan
ujian-ujian prakteknya yang sudah berjalan tampak selalu sibuk pergi keluar
rumah untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok dari guru beberapa bidang studi
yang harus dipenuhinya untuk mengisi nilai-nilai yang tak keburu dikejar oleh
ulangan. Setidaknya di rapor nanti mereka punya nilai. Ah, dan dia sudah tidak
mengajar angkatanku lagi karena Park seonsaengnim
sudah kembali dari rumah sakit. Beliau, si dimple
smile teacher sudah sembuuhh~ Aku merindukannya, tetapi aku tidak pernah
merindukan soal-soalnya.
Puji Tuhan, karena
sekarang Sunday seonsaengnim lah yang
sedang sakit dan diopname. Aku sangat bersyukur karena aku tak perlu
mendengarnya mengoceh panjang lebar dengan suara super tinggi dan berakhir pada
ocehan tak jelasnya tentang hal-hal tak berguna, dan tak perlu lagi siap
disalibkan saat mendapat giliran dia sebagai guru pembimbingku. Memang tertawa
diatas penderitaan orang lain itu tidak baik, tetapi itu adalah hal baik juga
untuknya.
Hal baik karena dia bisa
mengistirahatkan pita suara (karena dia sering berteriak), otot matanya (karena
dia sering melotot), dan juga membantunya untuk memperlambat penuaan dini
(karena dia sering mengomel dahinya sering berkerut dan hal itu dapat
mengakibatkan penuaan dini bukan? Menimbulkan kerutan. Apakah aku salah?), itu
adalah win win solution, bukan?
Soo Ra dan Seok hoon sama
sekali tidak membenciku lagi dan mereka sudah terbiasa denganku bahkan dengan
Yeon Mi yang notabene mau tidak mau pasti ikut membantuku. Toh Kim Sang Min sajangnim tidak keberatan memberinya
gaji juga selama kami bekerja dengan baik. Aku memang masih tidak mengerti mindset dari orang-orang kaya. Mungkin
dia berendam di lautan uang. Menurutku, sepertinya dia cukup puas dengan
pekerjaan kami. Setelah bulan Desember dia bertemu denganku secara langsung dia
tidak memecatku saat tau aku hanyalah murid SMP bahkan satu sekolah dengan
anak-anaknya. Mungkin aku cukup memadai karena aku adalah satu-satunya pengasuh
yang mampu mengatasi dua anaknya dan bahkan anak-anaknya yang lain pula. Lihat
kan? Cabai yang lebih kecil lebih pedas. This
is the power of youngsters!
Ah, ngomong-ngomong aku
sudah mendapatkan gajiku sebanyak dua kali! Untuk bulan November, Desember, dan
untuk bulan ini aku akan mendapatkannya di akhir bulan nanti. Wuah, jadi begini
rasanya dapat gaji? Padahal kan pekerjaanku tidak seberapa, tapi ini sudah
sangat lebih dari cukup. Jika aku tinggal sendiri aku sudah bisa membiayai
hidupku sehari-hari, bahkan bisa juga untuk jajan dan masih cukup untuk
ditabung! Mungkin dia memberiku gaji yang sama dengan pegawai-pegawainya di Dash Tour. Mungkin di bidang marketing? Karena itu aku sudah membuka
tabungan di bank (tentu saja sudah ada isinya walaupun tidak seberapa), lalu
aku juga sudah memenuhi keinginan awalku, yaitu WAFFLE YANG KUIDAMKAAAAN.
Rasanya memang tidak bisa membohongiku. Enak. Satu kata yang cukup untuk
mendeskripsikan segalanya.
Ki Bum-ssi? Ada yang bertanya soalnya? Dia
hilang. Tidak sih dia tidak hilang tetapi aku jarang sekali bertemu dengannya
kecuali di malam hari. Dia juga sering sekali pergi keluar negeri untuk urusan
bisnis tentunya. Tanpanya hidupku masih berputar kok. Jika bertemu pun aku cuma
membungkuk memberi hormat kepadanya. Lalu apa yang dia berikan kepadaku (atau
Yeon Mi) sebagai respon? Anggukan kecil ditambah langkah yang tak berhenti dan
tak lupa 0,5 patah katanya yang sangat terkenal yaitu “Mm.” Eiii, aku tidak tau
lagi. Tidak mau tau lagi. Dia sudah sembuh atau belum pun aku tidak mau tau.
Tetapi setidaknya (sepertinya) dia sudah tidak dendam padaku.
Kim Sang Min sajangnim? Itu lebih langka lagi. Pulang
ke rumah pun jarang, bagaimana aku bisa bertemu dengannya? Lagipula aku tidak
perlu bertemu dengannya. Aku selalu langsung merasa rendah diri mendadak secara
otomatis jika berada di dekat beliau. Mungkin itu memang lazim karena aku
adalah bawahannya, beliau yang menghidupi aku (dan Yeon Mi) dan itu memang masuk
akal jika aku punya rasa hormat berlebihan terhadap beliau. Secara,
anak-anaknya yang merupakan darah dagingnya sendiri saja terlihat begitu segan
terhadap ayah mereka sendiri. Padahal mereka memiliki susunan genetika yang
mirip.
Ah, ngomong-ngomong soal
susunan genetika bagiku wajah Kim Sang Min paling mirip dengan Kyu Hyun, lalu
pembawaannya dan sifatnya sih persis
sekali dengan Ki Bum-ssi. Eh salah,
Kyu Hyun dan Ki Bum-ssi yang mirip
dia.
Terkadang aku masih suka
mengunjungi warung makan Shin ahjumma
dan mengunjunginya walaupun aku sudah tak tinggal di sebelah warungnya. Tentu
saja aku masih belum bisa mencari eomukkeochi
(fish cake skewer) yang lebih enak daripada buatannya. Kudengar sekarang
kamar yang dulu kutinggali sudah terisi lagi. Memang orang-orang bawah macamku
ternyata cukup banyak tersebar di Seoul.
Ulang tahunku akan datang
sebentar lagi, tetapi di rumah ini tidak ada yang tau. Hanya Yeon Mi seorang
yang tau di rumah ini, itupun kalau dia ingat tentang ulang tahun sepupunya
yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Bahkan aku tidak pernah tau, tidak
pernah mencari tau, dan memang tidak pernah ingin tau ulang tahunnya sebelum
ini. Pastilah aku juga tidak pernah mengingat ulang tahunnya. Mungkin saat
ulang tahunku aku akan bertanya padanya, atau aku bisa menanyakannya kepada imo (bibi) ku yang ada di Pulau Hahwado
sana.
Oh iya, tentu saja Yoon
Hee dan Seul-Ah tau ulang tahunku. Jika mereka lupa aku akan berguling-guling
di kelas. Karena aku tidak pernah lupa ulang tahun mereka. Thanks to my handphone’s reminder I never forget ._______. Kekekeke~
Aku jahat, ne, ne, ne. Nado arrayo (Aku juga tau), tetapi
kapasitas otakku tak cukup memuat berbagai macam hallll!!
Dan setelah bercerita
panjang lebar tentang kehidupan baruku yang terisi dengan kedamaian (dan
sedikit kegalauan karena nilai jelek), disinilah aku di hari Sabtu, menikmati
sedikit hari liburku di dalam kamar sementara Yeon Mi yang sedang pergi ke
rumah Jin Ri untuk membuat tugas kelompoknya dengan teman sekelompoknya yang
terdiri dari Seo Hyun, Tae Min, Se Hun (satu lagi makhluk jago dance di kelasku), dan Jin Ri. Yeon Mi
wajib bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan karena ditempatkan dalam satu
kelompok dengan Seo Hyun. Karena biasanya dalam satu kelompok Seo Hyun akan
mengerjakan 90% nya. Sementara tugasku sudah selesai dari
entah-kapan-aku-lupa-dan-malas-mengingatnya dengan Jong Jin, Yoon Hee, Jae
Hyun, dan juga Baek Hyun si unyu maksimal yang taraf ke-unyu-annya kurang lebih
sama dengan Seok Hoon, hanya berbeda 11 dan 11,75.
Hal yang kuingat dari
kerja kelompokku kemarin adalah yang paling banyak kulakukan adalah menonjok
Baek Hyun setiap kali dia mengeluh dia lelah dan mengeluarkan aegyo. Karena dia begitu imut aku jadi
iri. Ups, rahasiaku ketahuan. Bodoh ya, ada yeoja
yang iri terhadap namja. Tetapi untuk
namja semacam Baek Hyun, itu adalah
hal yang exceptional.
Tok, tok.
Pintu kamarku terdengar
diketuk oleh seseorang. Aku meletakkan buku novel pinjaman dari perpustakaan
yang tadi sedang kubaca dan menengok kearah pintu. “Nuguya (siapa itu)?”
“Seok Hoon-ieyo, noona (Aku Seok Hoon, kakak),” ujar suara manis itu
dari luar sana. Aku beranjak dari kursiku dan segera mendekati pintu, lalu
membuka pintu kayu itu dan mendapati seorang anak manis berdiri disana sambil
memegangi selembar kertas di tangannya. Matanya melihat kearahku dan dia
tersenyum cerah. Berat rasanya kalau tidak ikut tersenyum bersamanya. Dia
memang matahari super imut. Tapi aku mendadak merinding kalau aku ingat pernah
berkata kalau Baek Hyun tidak beda jauh darinya. Tetapi itu tetap kenyataannya
jadi aku harus menerima dengan lapang dada kalau Baek Hyun itu seimut anak
balita berusia kurang lebih lima tahun. Terkadang kenyataan itu memang kejam
dan sulit diterima sebagai kenyataan.
“Ada apa, Seok Hoon-a?” Aku berjongkok agar mata kami
bertemu di satu garis horizontal yang sama. Matanya yang bening itu memandangku
lurus dan berkata, “Noona, bisa aku
minta bantuanmu?” suaranya terdengar sedikit memelas dan sedikit aksen putus
asa terdengar dalam nadanya. “Tentu saja. Kalau noona bisa membantumu, maka aku akan melakukannya sebaik-baiknya. Waeyo (ada apa)?” jawabku.
“Igeo (ini)….” Katanya sambil menyodorkan kertas yang tadi
digenggamnya. Aku mengambilnya. “Ige
mwoya (Apa ini)? PR?” lalu membaca tulisan-tulisan yang tertera disana. Ah,
itu adalah lembar persetujuan untuk orang tua. Apakah orang tua setuju jika
anaknya terlibat dalam drama musikal TK, jika setuju orang tua harus
menandatangani kolom di bawah sebagai tanda persetujuannya. Wuaahhh…. Seok Hoon
mau main drama musikal? Kereeenn!! Tapi sebentar. Maksudnya dia meminta tolong
kepadaku sambil menyodorkan lembar persetujuan yang kosong ini adalah….
“Seok Hoon-a, maksudmu noona harus menandatangani ini?” kataku sambil menggoyang-goyangkan
selembar kertas yang ada di tanganku itu. Seok Hoon mengangguk dengan antusias
dan tiba-tiba seulas senyum manis tersungging di wajahnya. “Noona mau kan?” tanyanya masih sambil
tersenyum manis.
Aku mau. TENTU SAJA!
Tapi….
Aku benar-benar tidak tau
harus menjawab apa. Aku tidak ingin berbohong pada anak ini tetapi juga tidak
ingin seenaknya melakukan hal yang agak berbahaya seperti ini. Hal pertama
adalah aku tidak punya hubungan darah dengan Seok Hoon (walaupun kalau boleh
aku bersedia), lalu aku juga bukan walinya, yang ketiga adalah aku belum punya
KTP karena aku belum cukup umur. Aku juga belum punya stempel.
Ah iya stempel!
Mungkin kalau itu
memusingkan kita bisa mengambil stempel Ki Bum-ssi atau kalau lebih nekat lagi punya Kim Sang Min sajangnim. Eiii, tapi Hae Ra, masa kau
mau mengajari anak innocent ini
melakukan hal-hal berbau kriminal? Walaupun ini hanya kriminalitas tingkat
rendah, jika nanti Seok Hoon terjerumus dalam kriminalitas tingkat lanjut di
masa depan, kaulah yang harus bertanggung jawab! Jadi cara satu-satunya adalah
menerangkannya secara baik-baik dan perlahan-lahan sampai Seok Hoon mengerti.
“Umm…. Seok Hoon-a, sebenarnya kalau dalam masalah ini noona tidak bisa membantumu. Karena noona bukan orangtuamu atau walimu.
Bahkan bukan anggota keluargamu, jadi aku tidak bisa melakukannya. Mungkin kau
harus mencari abeoji atau hyungnim-mu. Seketika itu juga sinar
dari dalam matanya terlihat meredup dan akhirnya hilang. Antusiasme pergi dalam
sekejap dari wajah manisnya. Aku jadi sedikit merasa bersalah, tetapi lebih
baik begini daripada aku harus berbohong demi kebaikan, demi kebaikan
sekalipun.
“Aku….” Seok Hoon membuka
suaranya dengan kepala yang masih tertunduk ke bawah. “Aku tidak berani
melakukannya, noona.” Dia berkata
padaku. Nadanya terdengar kecewa dan pasrah, namun aku tidak bisa melihat
ekspresinya. Aku berpikir sejenak, setidaknya aku ingin membantunya walaupun
tidak berhasil. “Mungkin noona bisa
membantumu mendapatkannya….” Ujarku kepadanya. Sedikit berharap kalau dia akan
segera mengangkat kepalanya dan tersenyum sambil berkata dengan antusias.
Tetapi tidak.
Dia memang mengangkat
kepalanya tetapi dia berkata, “Tidak akan ada gunanya, noona. Abeoji dan hyungnim pasti tidak mengizinkan aku
mengikuti drama musikal ini.” Dia berkata dengan nada sedih. Aku kembali
melihatnya dan bertanya, “Pernakah kau mencobanya?” tanyaku padanya.
Seok Hoon terdiam dan
akhirnya melihat kearahku dan menatap ke dalam mataku. “Aku…. Terlalu takut
untuk mencobanya, noona. Aku takut
pada mereka.” Dia berkata jujur padaku. Sekarang gantianlah aku yang terdiam
dan tidak tau harus berkata apa untuk menjawab makhluk Tuhan yang super imut
ini. Takut? Aku tidak berbeda darinya. Another
obstacle in becoming a fine nanny: Choose between avoid your fearness, or
helping your child-on-duty.
===
Akhirnya setelah beberapa
jam bermeditasi di dalam kamarku aku
memutuskan kalau pilihanku akan jatuh pada Kibum-ssi. Karena secara pangkat dan secara tingkah laku dia masih lebih
baik (walaupun hanya sedikit) dibandingkan dengan Kim Sang Min-ssi. Jadi Seok Hoon kusuruh menunggu dia
sampai malam, dimana akhirnya aku menemaninya nonton banyak kartun, Yeon Mi
pulang, dan akhirnya kami nonton bertiga. Setelah beberapa jam dan beberapa
keping DVD sudah terputar, Soo Ra mendadak keluar dari kamar dan protes karena
daritadi dia tidak diajak menonton, dan mengganti kartun Pororo dengan Barbie.
Setelah sesi menonton
(ditambah makan dan mandi) 5 keping DVD Pororo, dan juga 6 film Barbie,
akhirnya yang ditunggu pulang juga, si kakak tertua. Tetapi sang pemohon (Seok
Hoon) sudah tidur bersama dengan kakaknya karena ini sudah sangat malam dan
melewati jam tidur mereka. Sementara aku dan Yeon Mi yang entah kenapa
ketagihan nonton (mungkin karena kami ingin kembali ke masa lalu kami yang
mungkin agak sedikit kurang bahagia) akhirnya terus menonton sampai sekarang,
dimana akhirnya yang ditunggu pulang juga.
Saat kami melihat dia
pulang hal yang pertama kami lihat adalah tatapan-tak-mengerti-nya pada Yeon Mi
saat melihat Yeon Mi sedang menangis ketika menonton adegan sedih di Barbie
Mermaidia. Dia melihat kami seperti melihat alien. Hello, sir. Tidak taukah selama ini aku telah melihatmu sebagai
alien selama…. Lebih lama daripada kau menganggap Yeon Mi (atau Yeon Mi dan
aku) sebagai alien?
….
Oh melantur, pergilah.
Sungguh.
Mungkin ini adalah efek
karena aku telah kembali ke masa kecilku (yang dulu juga ada Pororo dan Barbie
tentunya, tetapi mereka telah lama kulupakan dan kutinggalkan) aku jadi semakin
ngawur.
Oke, kembali ke dunia
nyata. Aku berusia 16 tahun…. Aku berusia 16 tahun….
Jadi setelah sadar kalau
dia berada disini aku langsung berdiri dan mengajaknya berbicara enam mata.
Seharusnya kalian ingat kenapa enam mata bukan?
“Wae?” Aku mendengar satu patah kata (WOW dia mengatakan sebuah
patah kata….) keluar dari bibir tuan muda yang satu ini. Ya ampun, apakah
saudaranya bernama ‘KUTUB UTARA’ atau ‘KUTUB SELATAN’? Bukankah adiknya bernama
Kyu Hyun, Soora, dan Seok Hoon? Kenapa yang keluar dari
bibirnya selalu merupakan angin dingin yang membekukan?
Tapi hal itu takkan
membuatku gentar. Walaupun belum genap satu tahun, well, satu itu sebenarnya angka ganjil… Err… Sudahlah melantur
lebih baik kau pergii!!
Kembali ke topik utama.
Oke, jadi akhirnya aku berkata pada Kibum-ssi.
Aku menjelaskan secara singkat apa yang diminta Seok Hoon, yaitu persetujuan
untuk bermain di drama musikal yang diadakan TK-nya.
“Hanya itu? Hanya meminta
persetujuanku kau harus menjelaskan berbelit-belit tentang dirimu yang tak
cukup umur dan bukan anggota keluarga kami sehingga tak bisa memberikan
persetujuan?” Kibum-ssi malah
membalas dengan sarkastik.
Sialan. Kalau saja dia
bukan boss-ku, dia pasti sudah
kuhajar. Coba saja bayangkan manusia di depanku ini adalah Jong Jin yang sering
meledekku tanpa alasan jelas, dia pasti sudah habis denganku. Walaupun dia
tidak merasa sakit karena tenagaku tetap tenaga wanita.
“Jangan berpikir kalau
kau mau menghajarku,”
DEG! Kenapa dia bisa tau?
“Jangan tanya kenapa aku
bisa tau. Semua tergambar dari matamu. Kalau kau memang meminta persetujuan
dariku tentang drama musikal itu bawa saja suratnya ke ruang kerjaku malam ini.
Sepertinya aku akan sedikit lembur. Buatkan kopi sekalian dan bawakan ke
ruanganku secepatnya.” Kibum mulai berkata panjang lebar. Memang dasar dia ini.
Kalau sedang ada perlunya saja dia akan berkata panjang lebar. Ini baru pertama
kalinya dia ada perlu denganku sih. Ya, maksudnya ada perlu dalam artian yang
baik dan damai. Kalau sebelumnya kan kami berada dalam keadaan perang dingin
dan perang panas. Tapi kenapa dia bisa membaca pikiranku? Apakah mataku
benar-benar sebegitu ekspresifnya?
“Ye, arasseo doryeonnim (Baik, saya mengerti, tuan muda).” Aku
membungkuk dan segera membalikan tubuhku kearah dapur untuk membuat kopi. Eh!
Sebentar. Dia melupakan sebuah kata keramat! Aku langsung membalikan tubuhku
dan menarik nafasku untuk berkata-kata,
“To…”
“Tolong.” Dia yang masih
berdiri di tempatnya daritadi terlebih dahulu memotong perkataanku. Dia
benar-benar membaca pikiranku. Aku hanya bisa mengangguk dan membalikan tubuhku
lalu mulai berjalan kearah dapur. Tentu saja wajahku masih memasang wajah yang
tak mengerti akan kenyataan yang terjadi.
Setelah beberapa menit
berkutat dengan cangkir, bubuk kopi, gula, air panas, susu, dan sendok di dapur
sana aku akhirnya keluar dari dapur dan membawa secangkir kopi yang harumnya
memenuhi ruang-ruang kosong di ruang tamu ini. Memang agak berlebihan, tapi
bagiku harumnya pekat dan syukurlah enak sekali. Tapi itu bukan karena aku yang
terampil. Tetapi karena kopinya mahal. :)
Tiba-tiba saja Yeon Mi
yang sedang membereskan Bluray Player dan TV serta seperangkat DVD Barbie dan
Pororo yang bergelimpangan di sekitarnya itu mendengar suara langkahku dan
memanggilku.
“Haera-ya,”
“Mm? Wae?” aku menjawab.
“Apa kau tau? Tadi Kibum-ssi sempat tersenyum loh.”
Aku merasa ada kilat yang
mendadak mendadak menyambar di padang gurun.
“Apa?! Dia tersenyum?
Makhluk hidup yang bahkan berbicara saja super jarang itu? Si wajah datar tanpa
ekspresi itu? Yang benar saja, Yeon Mi-ya.
Matamu minusnya nambah, ya? Ah pasti matamu terlalu lelah setelah kita estafet
menonton kartun tanpa henti dari sore sampai hampir tengah malam begini.” Aku
menyimpulkan sesukaku.
“Enak saja. Makanya tadi
aku sempat mengucak mata dan melihat
sekali lagi. Syukurlah dia tersenyum agak lama, jadi aku sempat melihatnya
lagi. Sekitar…. Tiga detik? Lalu dia berbalik arah kearah tangga dan naik
keatas. Aku juga tadi sangat kaget. Aku sempat mengira mataku katarak atau
otakku sudah tidak berfungsi dengan sempurna.”
“Berbalik? Jadi dia
tersenyum setelah dia berbicara denganku?”
“Ummm…. Sepertinya iya.”
Aku terdiam setelah mendengar statement
itu. Aneh. Tidak biasanya dia tersenyum saat bertemu denganku. Janganku waktu
bertemu denganku. Kapan dia pernah tersenyum? Mungkin hanya jika dia sedang ada
rapat atau bertemu dengan orang-orang perusahaan lain, terutama
petinggi-petingginya. Bisa jadi pula itu adalah senyum terpaksa.
Tetapi barusan dia
tersenyum setelah berbicara denganku yang notabene adalah musuhnya—mantan
musuhnya. Aku harap demikian. Jangan sampai dia masih menyimpan dendam padaku.
Karena sekarang ini aku akan segera memasuki satu dari sekian ruangan yang
dilarang kumasuki.
Well, rumah ini agak sedikit mirip Hogwarts karena banyak sekali ruangan dan beberapa diantaranya
adalah ruangan-ruangan yang dilarang dimasuki. Ah, aku lupa tentang keadaan
rumah yang dikelilingi aura yang tak terdefinisikan kata-kata itu makin
membuatnya menjadi Hogwarts versi
rumah. Untunglah di dalamnya bukan banyak hantu dan roh yang bergentayangan,
tetapi tetap ada dua malaikat kecil, dua malaikat besar (kalian harusnya tahu
siapa ini), jelmaan Professor Snape (silahkan ditebak siapa ini), Dumbledore versi
dingin dan tak berjenggot (tebak lagi. Ini mudah), Professor Mcgonagal (Aku
tidak hafal cara menulisnya dan malas searching ._. Lagipula yang ini juga
mudah), lalu yang masih ketinggalan adalah titisan iblis dari neraka yang
menjelma jadi makhluk tampan. Iuhhhh…. Tapi dia memang tampan karena dia tidak
cantik. Tebakan terakhir pasti sangat mudah sekali untuk dijawab bukan?
Hmmm…. Ruangan-ruangan
yang dilarang kumasuki sampai saat ini adalah :
1. Ruang kerja Kibum-ssi
2. Ruang misterius yang
dimasuki Kyuhyun di awal-awal cerita (lupa? Anda dipersilahkan untuk membaca
ulang, terima kasih)
3. Kamar Kibum-ssi
4. Kamar Kyuhyun
5. Ada beberapa kamar
yang entah kenapa dilarang kumasuki. Sepertinya salah satunya adalah kamar dari
anak perempuan mereka yang sedang sekolah ke luar negeri.
6. Tentu saja kamar Kim
Sang Min-sajangnim adalah ruangan
yang paling dilarang kumasuki
7. Satu lagi ruangan yang
haram kumasuki adalah…. Ruang kerja Kim Sang Min-sajangnim.
Joo Ra-ssi boleh masuk ke dalam semua ruangan
ini. Karena jika dia tidak boleh masuk, lalu siapa yang akan membersihkan rumah
super besar ini? Yah, karena kami sudah tinggal disini juga aku berinisiatif
membantunya untuk membersihkan rumah. Biasa aku dan Yeon Mi membersihkan kamar
kami sendiri, kamar Soo Ra dan Seok Hoon, kamar belajar (yang kami gunakan
juga), ruang keluarga—atau ruang tamu yang super besar (ruangan ini perlu
ketelitian dan kehati-hatian yang ekstra karena banyak barang antiknya), dan
juga hall di lantai dua.
Oke, sembari melantur
tadi aku sudah sampai di depan salah satu ruangan yang dilarang kumasuki, yaitu
ruangan nomor 1 dari list-ku diatas,
ruang kerja Kibum-ssi.
Pintunya terbuat dari
kayu dan terlihat begitu kokoh. Warna gelapnya seakan-akan mencoba untuk
menghisap aku kedalam pusaran kekelaman yang terpancar dari warnanya. Aku belum
pernah sekalipun masuk atau bahkan mengetuk pintu ini. Yah, harus kuakui aku
jadi tegang. Oke.
“Huff….” Aku menghela
nafas panjang. Lalu mengangkat tangan kananku dan bersiap untuk mengetuk pintu.
Aku mengayunkan tanganku ke belakang, sedikit mengambil ancang-ancang lalu
sesaat sebelum tanganku menyentuh permukaan pintu aku baru ingat aku belum
membawa alasan aku harus berada disini. Surat persetujuan Seok Hoon…..
Ah, akhirnya aku
membelokkan tubuhku kearah kamarku, dimana aku meletakkan surat itu. Secarik
kertas terbaring diam diatas mejaku. Ah, itu dia benda yang kuperlukan. Aku
meletakkan kopi diatas meja dan mengambil kertas yang kumaksudkan itu. Aku
membaca kata demi kata yang tertera diatas putih tersebut. Karena benda keramat
ini aku harus masuk ke dalam kandang singa.
Sebenarnya jika kita
ibaratkan Kibum-ssi sebagai hewan dia
tidak ada mirip-miripnya dengan singa sih. Singa jantan kan pemalas dan hanya
bisa seakan-sakan ‘sok’ galak walaupun dia punya autoritas sebagai kepala
‘suku’. Berbeda dengan Kibum yang bekerja siang malam, bekerja dengan
sungguh-sungguh dan tidak sok galak. Karena dia memang punya autoritas jadi tak
heran kalau dia ‘galak’, toh dia sudah mengerjakan semua kewajibannya dengan
sangat baik sekali.
Kibum-ssi itu lebih mirip…. Buaya. Hewan yang
diam saat memantau mangsanya sampai sang mangsa merasa tidak terancam dan
menurunkan kewaspadaannya, lalu pada saat terlengah dari sang lawan buaya itu
langsung menerkamnya dan membawanya kepada kematian. Well, frankly saying that is too extreme as an example. Tapi
kira-kira begitulah Kibum-ssi yang
pendiam, dingin, tetapi saat dia kesal dia akan meledak dengan caranya sendiri.
Ingat kan peristiwa yang membuat kami musuhan dulu? Hii…. Tidak mau lagi. Dia
mengerikan dengan caranya sendiri. Tapi kalau kuakui tidak ada buaya yang setampan
Kibum-ssi. Buaya itu jelek, bersisik
dari zat kitin aneh…. eh salah. Maksudku zat keratin aneh, telurnya saja
amniotik bercangkang. Apa itu? Tidak tau ah…. Tapi kesamaan lainnya adalah….
Mereka berdarah dingin. Hoho. Eh, aku sedang berbicara tentang apa sih?
Melantur, melantur.
Oke. Belakangan ini aku
jadi lebih sering melantur, kan? Tidak enak jika dibilang melantur. Mulai
sekarang mari kita sebut itu sebagai curhat. Kalau untuk kategori curhat
colongan pembicaraanku selalu terlalu panjang. Jadi mari kita sebut curhat.
Nah, sesi curhat sudah selesai karena sekarang aku sudah berada di depan pintu
keramat kandang…. Buaya yang tadi kutinggalkan.
Dengan secangkir kopi
yang Puji Tuhan masih hangat di tangan kananku dan lembar persetujuan di tangan
kiriku aku mengetuk pintu dengan tangan kiriku. Aku menunggu sejenak namun
tidak ada jawaban. Lalu aku memutuskan untuk kembali mengetuk. Aku menunggu
sekali lagi namun tetap tidak terdengar ada jawaban. Jadi aku memutuskan untuk
langsung masuk.
Aku membuka pintu yang
agak berat itu pelan-pelan dan pintu itu menimbulkan sebuah suara yang tidak
begitu enak. Namun aku bisa memastikan suaranya jauh lebih baik daripada suara
pintu di flat lamaku.
“Permisi….” Kataku sambil
masuk ke dalam.
Aku menutup pintu kembali
dan baru melihat kearah meja kerja yang merupakan pusat dari ruangan ini.
Seperti objek atau unsur utama yang berada di ruangan ini. Sebuah meja yang
terbuat dari kayu namun tidak memiliki model antik seperti yang kita lihat di
film-film. Ah, mungkin itu karena kantor-kantor yang kita lihat adalah milik
direktur-direktur yang sudah agak tua.
Hmmm…. Meja milik Kibum-ssi punya model yang simple dan modern.
Di belakangnya tersusun banyak buku di rak yang cukup besar. Secara garis besar
tempat ini memang sangat cocok disebut sebagai kantor. Hanya berisikan laptop,
gadget, lampu, rak, meja, kursi, banyak buku, dan juga sebuah sofa yang lumayan
panjang. Mungkin tempat Kibum beristirahat jika dia merasa terlalu lelah. Oh,
aku lupa. Ruangan ini juga diisi oleh gas oksigen dengan rumus kimia O2.
Oke yang terakhir bisa diabaikan. TIDAK BISAA!! Nanti tidak ada manusia yang
bisa bernafasss~ oke lupakan.
Ah, aku lupa. Sedikit
terkagum dengan ruangan yang baru pertama kujejaki ini dan aku melupakan
eksistensi manusia yang terduduk di kursi dengan kepala yang…. Berada diatas
meja? Apa dia sedang tertidur?
Aku mendekatinya dan
meletakkan kopi hangat pesanannya dan lembar persetujuan Seok Hoon diatas meja.
Lalu aku memperhatikan dirinya yang sedang tertidur lelap. Kacamata masih
berada di wajahnya dan dia tertidur dengan tangan sebagai bantal. Aku
memperhatikan wajahnya yang biasa tanpa ekspresi itu, sekarang tidur nyenyak
tanpa gangguan. Wajah apa saja yang pernah dia tunjukan di depanku?
Tanpa ekspresi, ekspresi
datar, wajah suram…. Tunggu, tunggu. Semua itu sama saja! Ah, jinjja. Ini pasti gara-gara aku
kelelahan menonton. Err, dia juga pernah marah padaku. Laluu…. Tatapan
merendahkan juga pernah. Lalu yang terbaru adalah…. Senyum. Eiii, aku tidak
melihatnya, itu Yeon Mi yang melihatnya. Ah, aku yakin dia pasti salah lihat.
Oh iya, aku juga pernah
melihat sinar ketegangan yang terdiam di dalam kedua bola matanya. Entah hal
apa yang membuatnya tegang, seingatku aku melihatnya ketika dia pulang pada
satu malam. Memang sedikit aneh tetapi waktu itu dia pulang agak pagi dan
kemudian pergi lagi entah kemana. Mungkin ada hal penting yang harus
dilakukannya waktu itu.
Tetapi sekarang dia
sedang berada di dalam ketenangan yang tak bisa diganggu gugat. Atau tepatnya
tak tega aku mengganggunya. Biarkan saja dia berada di dalam damai walaupun
sementara ini. Biarkan saja dia menjadi manusia normal walaupun hanya sebentar
saja. Hanya di dalam tidurnya.
===
“Ungghh….” Kibum
terbangun dari tidurnya. Dia mencoba mengerjapkan matanya beberapa kali dan
mencoba mencari fokus matanya terhadap apa pun yang berada di depan matanya.
Lalu dia memegang wajahnya dan tak mendapati kacamatanya berada di sana. Dia
mencoba meraba meja di sekitarnya dan menyentuh sesuatu yang dia yakin
merupakan kacamatanya, mengaitkannya diantara daun telinganya dan kembali
melihat ke depan.
Dia masih di ruang
kerjanya. Hal pertama yang dia lihat adalah pintu besar yang merupakan pintu
masuk ruang kerjanya. Lalu dia menengok kearah jam digital yang diletakkan diatas
mejanya. Disana terpampang angka 03:27.
Hampir jam setengah empat. Sudah berapa jam aku tertidur
disini? Dia bergumam sambil melakukan stretching
ringan pada otot-otot di daerah sekitar lehernya yang terasa agak kaku.
Tentu saja, dia tidur berjam-jam dengan posisi duduk dan leher yang miring.
Pasti akan membebankan otot-otot lehernya.
Saat sedang melakukan stretching dia tak sengaja melihat ke
belakang dan melihat sesuatu. Sebuah kain berwarna biru dengan gambar Pororo
terletak di kursinya. Dia mengambilnya dan kembali bergumam sendiri. Selimut? Siapa yang…. Lalu dia
mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Matanya menangkap sesuatu yang asing
berdiri diatas mejanya dengan tegap. Sebotol termos berwarna abu-abu dengan
sesuatu yang menempel di termos tersebut.
Dia meraih termos itu dan
melihat sebuah post-it berwarna
kuning tertempel disana dan tampaklah tulisan yang cukup bagus tertulis disana.
‘Ini kopi pesananmu. Sudah kubuatkan. Lain kali jika lelah lebih baik
kau tidur di ranjang saja atau setidaknya di sofa. Lehermu bisa sakit kalau kau
keseringan tidur diatas meja.
P. S. : Selimut itu punya Seok Hoon. Dia yang mau
meminjamkannya padamu. ’
“Hae Ra.” Dia menyebutkan
nama dari pelaku yang meninggalkan kopi di dalam termos beserta sebuah cangkir
yang tersedia di dekatnya. Kibum mengambil cangkir itu dan menangkap ada
tulisan yang tertera di sebuah kertas yang diletakkan di bawah cangkir
tersebut. Berbeda dengan tulisan Hae Ra yang rapih, tulisan yang kali ini
terlihat berantakan seperti tulisan seseorang yang baru pertama kali belajar
menulis. Diatas post-it yang kali ini
menempel diatas kertas yang berada di bawah cangkir itu tertulis demikian :
‘Hyung, tolong izinkan aku ikut drama musikal. Aku
benar-benar ingin ikut. Terima kasih banyak.
Seok
Hoon’
Dibalik post-it yang sama tertulis lagi tulisan
Hae Ra.
‘Dia takut untuk mengatakannya langsung padamu. Karena itu dia minta
bantuanku. Sebenarnya kenapa kau bisa membuat adik-adikmu ini takut padamu? Apa
yang kau lakukan? Mungkin kau harus coba berhenti bersikap dingin pada semua
orang. Aku sih tahan-tahan saja. Bukannya aku ingin mengguruimu, tetapi bukan
hal baik punya hubungan yang buruk dengan adik-adikmu. Cobalah mulai besok
perbanyak senyumanmu. Terutama pada adik-adikmu. Jangan buat mereka trauma
terhadap kakak mereka sendiri. Sudah cukup mereka tidak dekat dan kehilangan
sosok orang tua mereka di usia mereka yang muda ini.’
Kibum hanya bisa menghela
nafas. Takut? Adik-adiknya takut padanya? Dia bahkan tak pernah tau dan tak
pernah menyadarinya. Bukan tak pernah tau, tetapi lebih tepatnya dia tak pernah
peduli.
“Senyum.” Dia hanya
terdiam melihat kata senyum.
Kehilangan kasih sayang
ibu dan ayah di usianya yang juga masih belia dulu membuatnya tumbuh bersama
buku dan belajar. Bukan karena sang ibu tidak menyayanginya sampai beliau
meninggal. Kyu Hyun sempat mengidap sakit yang cukup berat saat kecil sehingga
selama Kyu Hyun masih sakit beliau lebih fokus pada Kyu Hyun yang kondisinya
sering drop. Setelah Kyu Hyun sembuh
dia pikir dia bisa mendapatkan kasih sayang ibunya yang dulu sempat dia
dapatkan selama beberapa tahun di awal kehidupannya. Tetapi takdir berkata
lain. Ibunya terenggut maut tak lama setelah Kyu Hyun sembuh.
Sang ayahpun akhirnya
menikah lagi dengan wanita yang sekarang menjadi ibu tirinya alias ibu Chae Hee
(yang sekarang entah ada dimana), Soo Ra, dan Seok Hoon. Secara otomatis Kibum
dan Kyu Hyun kehilangan sosok seorang ibu. Memang ada sedikit perbedaan antara
Kyu Hyun dan Kibum. Kyuhyun yang dulu sempat sakit tentu saja menerima banyak
perhatian dari sang ibu, sementara Kibum tidak mendapatkannya sebanyak Kyuhyun.
Setelah dia lulus yang
ada di agendanya adalah bekerja. Tentu saja bekerja dengan sang ayah dan
langsung menjadi bawahannya. Mendapatkan pangkat yang tinggi karena dia adalah
anak sulung dari Direktur Utama membuatnya tentu saja dipandang rendah banyak
orang. Senyum? Itu adalah salah satu hal yang paling jarang dilakukannya. Lebih
tepatnya paling jarang dilakukannya secara tulus. Dia bisa tersenyum, terutama
ketika harus bertemu dan makan bersama dengan klien khusus atau para petinggi
perusahaan lain. Walaupun senyum yang diberikannya bukan senyum yang tulus.
Dia yang hidup dalam
suasana diri dan lingkungan yang dingin itu sangat sulit untuk bisa berpikir
untuk menunjukkan sisi hangat dan kasih sayang. Sampai Hae Ra menuliskan hal
ini dia pun tak pernah terpikir untuk…. Tersenyum pada adik-adiknya?
Soo Ra dan Seok Hoon….
Apakah dia mau mereka merasakan hal yang sama seperti yang terjadi padanya?
-to be continue-
Eiii cece! Akhirnya ini ff bangkit dari dalem kubur jugaaaaaaaaa!!! Btw, ini ff pertama yg gw baca setelah berbulan-bulan gw ga nyentuh dunia ff (?) Lupakan. Anyway, akhirnya itu otak (atau hati? Ya itu lah pokoknya hehehehe) si Ki Bum kebuka sedikit. Kyuhyun, kasian dia mulai kena stress menjelang UN. Siksa dia lebih lagi yaa *silahkan bunuh saya* Dan cece, pliiis post the next part asap and fighting for your covering!
ReplyDeleteMakaci Nae Imooo :D
DeleteSIAPPPP!!! MARI BANTAI KYUHYUN!! (?) *gue jadi bingung gue fans nya apa bukan....*
SIPPP DEEHH!!~