Yakinkah itu dirimu?
Semua yang selama ini hanya kulit luarmu belaka?
Apakah ini semua hanya gurauan dan guyonan?
Atau ternyata ada duka dibalik suka?
Nyatakanlah padaku.. Dan aku pun akan menyatakannya padamu..
Tentang….
Melepasmu (Let You Go..)
******************************************************************************
~Hanya satu hal yang ingin kutahu, bisakah kita bertukar tempat? Sanggupkah aku menjalani semua ini?~ ~Aku hanya merasakan ketakutan yang makin lama makin merajarela… Aku tak ingin mereka tahu..~
*************************************************************************************
“Kanker syaraf?” tutur seorang gadis muda yang duduk di depan seorang dokter sambil memicingkan matanya dengan sedikit bingung.
“Iya, betul. Saya sudah mengecek ini berulang kali. Namun sayangnya ternyata kenyataan itu benar-benar terjadi. Dan anda menderita kanker syaraf…uum…” Dokter tersebut bingung, bagaimana dia mengakhiri kalimatnya. Bagaimanakah caranya memanggil seseorang yang sekarang ada di depannya.
“Vera. Cukup panggil saya begitu, dok. Ga usah sampe botak lagi mikir buat cari panggilan yang cukup pantas buat saya.” Gadis tersebut masih bisa tersenyum dan sedikit bergurau dengan dokter tersebut. Dokter pun terbengong kaget perihal kelakuan gadis polos yang ada di depannya ini.
“Ve..Vera, anda harusnya sedikit khawatir dengan keadaan anda yang seperti ini. Kenapa anda masih bisa….bercanda? Kanker syaraf adalah kanker yang bisa menyerang semua syaraf-syaraf yang ada di dalam tubuh. Ini adalah kanker ganas, walaupun kanker yang ada di tubuh anda belum begitu parah. Baru masuk stadium awal. Masih bisa ditangani dengan pengobatan yang teratur di rumah sakit. Seperti obat, kemoterapi, lalu masih a—”
“Heh? Saya tau kalo begituan, dok. Duuh.. rumah sakit? Pengobatan? Ga deh. Saya udah ga punya orang tua atau wali yang bakal nanggung saya buat ngobatin penyakit aneh-aneh begini. Saya mati ya matiiii… kalo lamaan ya syukur deh!” Jawab Vera sambil tersenyum lebar.
“Ya, yakin? Apa benar tidak satu pun wali anda? Tapi kalo boleh tau berapa usia anda?”
“Iya donk. Hebat ‘kan, dok? Mestinya saya masuk museum. Oh, saya baru 17 tahun, dok. Biarin deeeeh… kalo emang udah dipanggil mau gimana? Oh ya, makasih, dok. Saya permisi dulu.” Vera pun berdiri dari kursinya dan beranjak keluar dari ruang dokter tersebut.
“Tunggu! Tunggu sebentar. Lalu bagaimana rencana saya setelah ini? Apakah anda akan terus melanjutkan aktivitas anda sehari-hari seperti biasa?” Nampaknya Pak Dokter ini penasaran kepada Vera. Karena sebelumnya belum ada pasiennya yang ‘se-ceria’ dia saat divonis terkena kanker, apalagi kanker syaraf.
“Oh… Itu bisa diurus belakangan. Yang pasti untuk selanjutnya saya bakal menikmati hidup saya. Sebisa mungkin dengan sisa waktu, tenaga, uang, dan kesempatan yang masih diberikan Tuhan. Biar Tuhan yang atur jalan ceritanya, dan biar Tuhan aja yang tau semuanya. Saya tinggal tunggu tanggal mainnya kok, disini saya cuma artis. Permisi, dok.” Vera pun meninggalkan ruangan tersebut masih dengna senyuman khasnya tersungging di bibir kecilnya.
“Huff… Kanker syaraf ya? Yang gue tau pasti dari kanker sih gue pasti cepet mati. Ya iya lah!! Itu mah anak SD juga tau. Ya udahlah… Yang pertama yang harus gue lakuin adalah berhenti segala-galanya! Kerja, sekolah, sewa rumah di Jakarta. Cukup ah!! Gue mau ngabur ke pedesaan aja! Kayaknya seru deh.. Hehehehe….” Katanya kepada dirinya sendiri. Menyusun langkah-langkah yang harus ditempuh olehnya setelah dia mengambil segala keputusan yang menjadi tanggung jawabnya sendiri.
****
“Ma! Pa! Cukup! Aku udah ga suka tinggal disini! Papa mama tiap hari kerjaannya berantem terus! Padahal kalian kalo di depan kamera kerjanya pura-pura mesra. Aku capek! Aku sebel sama kelakuan kalian yang kayak anak kecil. Dan daripada kalian berdua itu cek-cok terus gara-gara semua hal kecil yang ga guna, mending aku pergi aja dari sini!! Capek sama kalian!!” Seorang gadis muda dalam balutan baju mewah di dalam rumah megah sedang mengeluarkan semua yang dirasakannya.
“UUURRRGGHH!! Ya udah lah! Terserah! Kamu nih ya. Bukannya malah bikin kehidupan kita tetep atau lebih baik, malah kamu yang bikin kehidupan kita tambah parah! Ya mau gimana lagi, dulu kami itu ‘kan cuma menghindari gossip. Tapi malah papa kamu hamilin mama, terus kamu mau mati aja gitu? Lagian denger ya, dia nih bukan papa kamu yang asli tau! Mama ga tau papa kamu yang asli siapa! Peduli amat, yang pasti mama udah ngebersarin kamu. Dan bagi mama itu lebih dari cukup! Daripada mama buang kamu di tengah jalan, itu bakal jadi lebih bagus!!” Sang ibu ternyata malah kembali membalas perkataannya dengan pernyataan yang lebih menyakitkan hati.
“Felia, lagian ini cuma buat meredam gossip dan supaya ga banyak masalah lagi. EH! Tapi ternyata lu malah bawa lebih banyak masalah lagi buat gue. Mau lu apa sih? Udah bagus gue mau nampung lu. Terus sekarang mau pergi? Yah silahkan, peduli amat gue sama lu? Siapa lu siapa gue?” Sang ayah tiri pun malah kembali memarahi sang anak dengan kata-kata yang tidak baik. Kasar sekali.
“…Gitu kah? OK. Aku mau pergi dari rumah ini. Tapi tabunganku mau aku ambil. Besok aku akan bilang ke sekolah. Aku berenti sekolah. Deal?” Felia meminta persetujuan dari kedua ‘orang tuanya’ yang tidak dia anggap sebagai orang tua yang layak dan pantas.
“Ya Deal! Mau ambil harta lu sebanyak apa pun boleh. Gue ga peduli, lu kata harta gue ada kurang banyak? Ambil aja sampe lu muntah darah. Udah ah! Gue ga mau tau lagi. Mampus, terlantar, jadi gelandangan, jangan pernah muncul di depan muka gue lagi selamanya!” Ayahnya pun langsung berlalu dan naik ke tangga sebelah kanan.
“Silahkan. Walaupun mama benci sama laki-laki itu, jawabannya sama. Silahkan! Jangan pernah dateng lagi dan ngemis kayak anjing di kaki mama. Sampe nyium kaki pun mama ga bakal ngasih kamu balik! Ngerti? Udah sana beres-beres, besok urusin masalah sekolah, terus pergi jauh-jauh. Mulai kamu keluar dari rumah ini, kamu udah bukan tanggung jawab dan anggota dari rumah ini lagi. Jangan sampe sekali-kali kamu berani dateng lagi kesini dan menjejakkan kaki di halaman rumah ini. Ngerti?” Sang ibu pun mencaci Felia tak kalah sengit dengan sang ayah.
“OK. No problem. Fine, whatever.” Felia menjawab sekedarnya. Dan sang ibu pun segera pergi menuju kamarnya yang ada di sebelah kiri, tanpa peduli. Dan perlakuan itu membuat pita suara Felia mulai menggetarkan suara yang lebih keras lagi,
“OK. Fine I DON’T EVEN CARE! I HATE YOU!!”
Felia pun kembali ke kamarnya yang ada di lantai bawah, dengan penuh kemarahan, dan dia telah menetapkan tekadnya. Tidak akan ada yang namanya penyesalan, itu janji yang terpaku di hatinya. Dan tetap tidak berubah dan tidak bisa diubah lagi. Sudah….mengkristal di dalam hatinya...
****
“Ini surat saya, pak. Saya mau berenti sekolah.” Terlihat seorang siswi sekolah ‘Atriaseth’ yang mengajukkan surat berhenti sekolah kepada Pak Kepala Sekolah.
“Oh. Boleh, tapi.. kenapa? Saya penasaran.” Kepala Sekolah itu, jujur saja cukup kaget dengan keputusan dan semua kata-kata yang meluncur begitu saja dengan lancar dari mulut siswi yang bernama Vera tersebut.
“Saya kena kanker syaraf dan saya memutuskan untuk menikmati akhir-akhir hidup saya di pedesaan, Pak. Mau itu menurut bapak ga masuk akal, ga jelas, dan menurut bapak saya orang gila. Berarti bapaklah yang gila. Dan satu lagi, Pak. Ga akan ada orang yang lebih tua yang bakal tanda tangan surat saya itu, Pak. Jadi jangan heran dan telmi lagi soal beginian. Saya udah males ngasih tau bapak berkali-kali kalo saya itu yatim piatu dan ga punya wali.
Saya tinggal dan menganggung hidup sendiri. Jadi dari pada saya yang udah pasti bakalan cepet mati ini sekolah dan mikir buat hal-hal ga penting, yang toh, nanti kalo pun saya bakal pake tapi saya udah mati duluan, mendingan saya cukup belajar sampe disini. Kalo bapak ngerti syukur, kalo kagak ya udah. OK, Pak? Intinya sekarang bagi saya sekolah itu ga guna walaupun saya dapet harga murah.” Vera menjelaskan panjang lebar kepada Pak Kepala Sekolah yang terkenal karena telmi ini. Karena usianya yang memang sudah uzur, jadi itu bukan hal yang mengherankan.
“Iya. Saya mengerti… Cepat sembuh ya… Silahkan.” Kepala sekolah itu pun mempersilahkan Vera untuk keluar dari ruangannya.
“….Permisi, Pak. Terima kasih..” Vera pun segera beranjak keluar ruangan itu dan berjalan di koridor. Sekarang sedang jam pelajaran, jadi koridor sepi. Dan dia tidak perlu takut nanti semua teman-teman baiknya akan keluar dan menghambur kepadanya. Dan pastinya akan repot untuk mengerangkan kalau dia terkena kanker syaraf. Semua akan mencoba untuk membantu, namun dia sudah bertekad untuk hidup normal. Dia tidak ingin diobati, karena selain menyusahkan, yang dia tau harganya mahal dan pengobatannya pun tidak menyenangkan, dan kadang malah membuat kita benar-benar ingin tambah cepat mati karena rasanya yang tidak nyaman.
“…‘Cepat sembuh’, ya? Kayaknya… lebih tepat ‘cepat meninggal dengan tenang’ deh…” Vera berguman sendiri sambil berjalan keluar koridor.
Vera pun berpapasan dengan seorang anak dari kelasnya, kelas 11-A IPS. Anak itu adalah anak yang paling populer dan cantik di angkatannya. Ganti deh, di sekolah. Dia manis, cantik, angun, kaya, pinter, dan anak dari selebritas. Gimana ga populer? Tapi yahh, menurut Vera dia ga kalah populer kok karena sifat cerianya dan sportifitasnya yang terkenal banget di seluruh sekolah. Paling jago ngomong pula. Tapi sekarang Vera malah jadi garuk-garuk kepala, mau apa si Felia itu berjalan sendiri kearah Kantor Kepala Sekolah yang baru ditinggalkannya?
Baru dateng jam segini lagi? Tapi ah~ buat apa mikirin begituan? Mendingan sekarang menyelesaikan semua urusan. Vera pun berlalu begitu saja untuk menyelesaikan semua sampai tuntas.
‘Tok! Tok! KRIEK!’ Pintu kantor Kepala Sekolah diketuk dua kali dan pintu tersebut terbuka. Masuklah seorang murid yang cukup sering ke kantor ini untuk meminta izin dengan kegiatan-kegiatan modeling nya.
“Permisi, Pak. Saya mau bicara dengan Bapak.”
“Oh… Felia, ada apa lagi?”
“Pak saya mau berhenti sekolah.”
Kepala sekolah pun nampaknya sedikit tersentak akan pernyataan Felia tersebut. Dimana sebenarnya Felia adalah sumber uang nomor satu di sekolah ini. Namun Kepala sekolah pun tidak nampak terlalu peduli, berhubung dia sendiri udah ga bisa mikir yang aneh-aneh. Tetapi dia kebingungan, dalam satu hari, dua orang murid keluar dari sekolah ini. Apakah ada yang aneh dari sekolah ini, sampe dua orang murid yang paling populer di sekolah ini karena prestasi (Vera) dan karena prestise (Felia) harus keluar dari sekolah ini?
“Apakah kamu punya alasan?” Kepala Sekolah pun penasaran bukan kepalang.
“Ada. Saya mau pergi dari Kota Jakarta ini. Saya sudah terlalu muak melihat kelakuan orang tua saya yang sudah keterlaluan dan menggila. Lama-lama nanti saya yang gila disana.”
“….Masalah kejiwaan?”
“Haduh, bukan.. Udah bilang aja masalah keluarga, Pak.”
“Baiklah… saya mengerti nanti saya akan kasih tau wali kelas kamu. Tapi saya penasaran lagi. Apakah kamu janjian sama Vera, teman sekelas kamu itu?”
“Vera? Murid yang paling jago debat itu, Pak? Saya ga sekelas dia, Pak. Cuma seangkatan, dia ‘kan murid IPA sedangkan saya itu IPS. Ta, tapi kenapa dia harus berhenti sekolah? Saya tau dia tidak punya wali dan dia yatim piatu, tapi bukankah dia mendapat diskon besar-besaran atas prestasi-prestasinya?” Felia pun ikut-ikut penasaran. Vera teman seangkatannya yang pernah ngalahin dia dalam lomba debat itu keluar sekolah juga kayak dia? Tapi kenapa?
“Saya….lupa… Tapi yang pasti saya inget dia ingin menghabiskan waktunya di pedesaan. Begitu….. Kalau tidak salah…”
Haissh… Ya udah lah.. Gue lupa Pak Kepala Sekolah ‘kan pikun.. Udah bau tanah, jadi itu wajar-wajar aja….
“Oh, iya Pak. Terima kasih, saya permisi dulu.” Felia pun pergi kearah pintu dan keluar ke koridor. Langsung menuju ruang guru, untuk menitip pesan kepada wali kelas 11-A IPS. Karena dia tahu, pasti Pak Kepala Sekolah bakalan lupa buat ngasih tau ke wali kelasnya.
Sekalian deh, sama Vera. Gue kasih tau langsung aja ke Bu Rika, wali kelasnya 11-C IPA…
Dan setelah itu semua selesai keduanya tidak akan pernah menjejakkan kaki mereka ke sekolah dan kota ini lagi… Dengan alasan yang berbeda…
****
Satu, Dua, Tiga … Tik, Tik, Tik…
Aku membenci suara jam… Seakan….waktuku makin habis…
Aku ingin menutup kedua telingaku…
Namun aku tak berdaya… Jadi sudahlah…
Tiga, Dua, Satu…. Tik, Tik,Tik…
****
‘KLINTING!!’ “Kakek!! Aku mau balikin sepeda cicilan ku.. Aku mau pindah rumah nih….” Vera masuk ke toko sepeda untuk mengembalikan sepeda yang baru dipakainya dua kali. Untuk membawanya pulang dari toko, dan membawanya kembali ke toko. Soalnya tempat kerjanya berubah, ga perlu sepeda lagi. dan sekarang dia mau pindah ke pedesaan, masa bawa-bawa sepeda?
“Lho? Vera? Kenapa kamu mau pindah?” Kakek keluar dari dalam gudang peralatannya.
“Oh… Aku sakit. Makanya aku mau pindah ke desa aja. Biar udaranya makin bersih… dan lagian disana biaya hidup lebih murah.”
“Ah~.. Ya baiklah.. Kakek ngerti. Tapi, kamu udah nyicil tujuh kali, lho. Tiga kali lagi udah lunas.. Hhmm… Sebentar….”
Kakek pun masuk lagi kedalam dan nampak mengacak-acak sesuatu. Lalu kembali keluar membawa sebuah amplop coklat yang cukup tebal, dan menyerahkannya kepada Vera.
Vera yang bingung pun bertanya, “Kakek, ini apa? Kenapa memberikannya kepadaku?” Lalu Vera pun membukanya, dan dia pun tercengang. “Jangan, kek. Ini kukembalikan. Ini tidak boleh kuambil.” Kata Vera sambil menyodorkan amplop yang ternyata berisi uang itu kembali kepada kakek.
“Lho? Kau mengembalikan sepedamu yang belum lunas sepenuhnya, tapi uang cicilan itu ‘kan berarti menjadi milikmu lagi. Ambillah, lagipula itu ‘kan tidak seberapa.”
“Yah.. Ta, tapi…”
“Kalau kau tidak mau, maka aku tidak akan membiarkanmu keluar dari tokoku ini. Hayooo..”
“I..iya deh.. Ampuuun kakek… aku ambil ini. Makasih banyak, ya, Kek… Sampai…bukan… Tapi harusnya selamat tinggal..”
“Heh? Memang kau akan pergi jauh, tetapi selamat tinggal terlalu meyakitkan, ah. Sampai jumpa, kita pasti akan bertemu lagi, kok.”
“Haha… Iya, mudah-mudahan. Aku duluan ya, kek.. Jaga dirimu..”
“Kau juga Vera…” Vera melangkahkan kakinya keluar dari toko sepeda. Dan segera melirik ke jam tangannya.
“Jam 9.24. Gue masih mau mengenang Jakarta, ah~. Masih ada sekitar 2 jam… Tapi…. Sampai jumpa, ya? Mungkinkah? Kok, semua orang kayak memberikan harapan mereka ke gue?” Vera sedikit berguman. Tapi segera menepis semua pikiran yang bisa menggoyahkan tekadnya. Masa udah gue bangun susah-susah gue robohin gitu aja? Kok lucu..? ogah… wehehehe…
Vera pun memulai kenangannya dimulai dari jalan yang biasa ditempuhnya untuk sampai ke sekolah dari kontrakan murahannya. Wuuiihh… Bentar lagi kucing-kucing itu ga bakal lagi bisa nyari gue buat minta makanan… Cariin makanan dulu ah.. Kasih makan dulu, kasiaaaaan…
Vera masuk ke salah satu minimarket khusus untuk mencari susu untuk diberikannya kepada kucing-kucing kecil yang suka menghampirinya pagi-pagi saat dia sedang berjalan untuk sampai ke sekolah.
Setelah membelinya dengan uang yang diberikan kakek padanya, Vera keluar dan masuk ke gang-gang kecil tempat para kucing itu biasa berkeliaran. Sekali melihat kedatangan seorang manusia yang selalu memberikan mereka susu kesukaan mereka, para kucing langsung menghambur kepada Vera.
Vera menumpahkan susu itu di sebuah wadah yang selalu dia bawa untuk minum para kucing itu.
“Puuuss~~ Minum yang banyak.. Nanti aku udah ga akan dicini lagiii… Nanti cepet gede biar bisa cari makan cendiri yaaa….” Vera menggunakan bahasa bayi kepada anak-anak kucing tersebut seperti para dokter hewan.
Tiba-tiba dia merasa kaki kirinya seperti tak mampu menahan tubuhnya lagi, seakan dia akan terjatuh. Nampaknya Vera sudah tau, ada apa ini. Kanker itu mulai menunjukkan rupanya..
“Heeeeh… Kanker, hai.. baru nongol ya? Kok cepet banget? Lamaan juga gak apa-apa ‘kan? Hahaha…”
Vera duduk sebentar untuk mengistirahatkan tubuhnya dan untuk menenangkan sel kankernya yang sedikit beraktivitas. Dan setelah dia merasa jauh lebih baik, Vera kembali mencoba berdiri. Dia merasa tidak apa-apa sekarang. Dan memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanannya.
“Naaaaah… dadah puuus~~ Aku pergi yaa..”
Vera pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju stasiun. Bawaannya tidak terlalu banyak untuk ukuran orang pindahan, hanya satu travel bag, satu ransel besar, dan satu koper yang besar juga. Dia membawa buku-buku pelajarannya yang masih tersisa, entah kenapa dia melakukan hal itu.
Dia sudah terbiasa berjalan kaki, namun karena hari ini pengecualian (soalnya bawaannya banyak untuk ukuran orang sekolah dan kerja), dia pengen istirahat sebentar, apalagi didukung oleh munculnya bang kanker yang sekarang bersarang di tubuhnya. Dan lagipula stasiun sudah cukup dekat.
Langkahnya terhenti sebentar, ketika melihat seseorang yang baru tadi pagi dia lihat di sekolah, berpapasan dengannya di koridor. Felia Surenda. Teman seangkatannya yang jarang berbicara dengannya, mereka tidak terlalu dekat. Lagipula Vera mengira Felia tidak terlalu suka dengannya, karena sebelumya ratu debat Atriaseth school adalah Felia, dan ‘sekarang’ adalah Vera. Sejak Vera mengalahkannya dalam lomba debat tentang politik sekolah.
Felia seperti baru keluar dari sebuah rumah yang megah bertingkat dua, dengan desain ala Eropa yang sangat besar. Dan kelihatannya Felia keluar dengan membawa cukup banyak barang bawaan. Seperti ingin pergi ke tempat yang jauh.
“Non.. Jaga diri, ya… Sebenernya non ndak usah pergi juga ga apa-apa ‘kan? Tapi kenapa non mesti pergi juga? Bibi sedih toh...” Terdengarlah sebuah suara yang sedikit memelas.
“Bi.. Aku juga kalo mau ga kepengen pergi. Tapi aku cape sama mama papa, tiap hari berantem terus. Lagian aku juga pergi nya harus diem-diem. Ntar mama papa ketangkep sama gossip, aku lagi yang disalahin. Baik-baik ya, Bi Sri..” Felia menjawab.
“Njeh, non… Wes, yo… Baek-baek di kampung nanti…”
“Iya, Bi…” Dan setelah Felia mengatakan kalimat pendek terakhir itu, pintu gerbang rumah megah yang terselip diantara rumah-rumah kecil lainnya tersebut tertutup. Seakan tak mengijinkan Felia untuk kembali masuk ke dalam.
Sepasang mata yang memandang Felia sedikit tersentak saat Felia menengok dan memandangnya dengan tatapan yang juga kaget (jadi sama-sama kaget).
Untuk mencairkan suasana yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata, Vera memulai pembicaraan.
“Yooo….”
Felia malah kaget. Lalu mulai tersenyum, dan makin lama senyum tersebut kian lebar, dan akhirnya berubah menjadi tawa yang meledak dengan menggelora.
“Hahahahahahaha!! Hari gini lu masih bisa ngomong ‘Yooo’? Wahahahaha… Lu lucu banget sih!! Hahaha… Vera ‘kan?”
Vera malah bengong dulu, baru pertama kalinya Vera ngeliat Felia ngakak kayak orang gila gitu. Pertama, Vera mendekati Felia dan memperhatikannya dengan sedekat mungkin. Memastikan kalau indra penglihatannya bukan mulai merusak karena kanker. Karena di depannya ada seorang murid yang terkenal paling anggun, sekarang lagi ngakak-ngakak dengan mulut menganga lebar sambil memegangi perutnya yang terkocok, dalam posisi jongkok. Tapi dengan gaya begitu, bajunya tetep Guess dan Zara. Jadi dia malah ikut-ikutan ketawa. Karena baru pertama kali dia liat ada seorang nona kaya ngakak-ngakak sambil jongkok di pinggir jalan.
“Wakakakakakakak!! Gue ga nyangka ternyata Felia itu gokil juga… Gileeee…”
“Hah.. Hah… Gue cape… Haha… Eh, lu berenti sekolah, ya? Gue juga nih… Tapi lu kenapa…?” Felia bertanya, perihal alasan Vera berhenti sekolah yang terus-terus mengusik hatinya.
Waduh… Jangan sampe si Pak KS ngasih tau soal penyakit gue ke Felia. Semoga aja dia lupa sebagian…. Jadi cuma ngasih tau bagiannya yang ga penting gitu deh…
“Ooohh.. itu… Kepala Sekolah emang ga kasih tau ke lu? Jiah… Ngarep amat ya gue? Mana mungkin si Pak KS masih inget…. Jedeeeer… Mungkin malah dia lupa ngasih tau ke Bu Rika? Deuuuhh… Kerjaan gue kok jadi banyak??” Vera mencoba sedikit mengetes Felia terlebih dahulu.
“Tenang.. Pak KS udah kasih tau. Katanya lu mau pindah ke pedesaan, ya? Terus gue juga udah kasih tau Bu Rika sekalian, kok.” Felia menjawab keluh kesah dan kecemasan Vera.
Fiuuuuhh… Thanks God… Aman…. Gue baru pertama kali bersyukur seumur hidup gue gara-gara ke-pikun-an Pak KS…. Hohohoho….
“Hoooo…. Thanks ya Felia… Eh, btw, emang lu mau kemana? Kayak mau pindah?”
“Oh, gue mau ke…..yang pasti keluar dari kota-kota besar. Kalo bisa yang desa terpencil tapi enak aja lah.. pengen tinggal dengan tenang gue…”
“Eh, sama donk. Lu belum tau mau kemana ‘kan? Bareng yuuuukk~~” Vera mengajak Felia untuk ikut bersamanya ke sebuah desa yang agak terpencil. Walaupun berada di Pulau Jawa, tapi desa itu tidak terlalu ramai dan biasa saja. Tempatnya sejuk dan menyenangkan, dan itu menjadi tempat tujuan Vera saat dia akan menghabiskan masa-masa pensiunnya. Namun tampaknya masa-masa pensiunnya datang lebih cepat dari yang diduga awalnya.
“Wah… boleh… Yuk, ke stasiun ‘kan?” Vera membalas dengan senyum dan anggukan.
Felia dan Vera pun berjalan bersama ke stasiun yang jaraknya kira-kira 2 km lagi. Untuk memulai hidup baru, bukan sebagai warga Kota Jakarta yang sibuk dan semerawut. Kota yang selalu membuat sakit kepala, mereka hanya akan perlu mengucapkan kata ‘farewell’..
**** Ini adalah salah satu dari cerita yang JW buat.. Tapi tentunya seperti biasa ini belum selesai dan ceritanya masih panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaang... Walaupun buat nge-post nya JW agak bingung karena JW itu malas memberikan bab di cerita tersebut (=w=) HOHOHOHOHOHO....
Jadi begitulah kira-kira, dan jujur aja JW sukaaaaa banget sama cerita ini. Bahkan mengalahkan Rantai Tangga Nada 2 yang bercerita tentang Feli (Cerita yang Bersambung Selamanya). Maapkan aku Keidy, tapi aku sekarang lagi pengen dipeluk sama Leviaaaan!!~~ Tralalalala~~
Best Regards, semoga kalian sukaaa~~
JW
No comments:
Post a Comment